REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendesak pemerintah eksekutif dan legislatif bersinergi untuk melindungi TKI di luar negeri dan tidak saling menyalahkan dan melepas tanggung jawab.
Sekretaris Jenderal SBMI Bobby Alwi menyatakan, jika lembaga negara hanya mementingkan kepentingan golongan, maka cita-cita untuk melindungi buruh migran hanya angan-angan belaka.
Bobby menjelaskan, pemerintah melalui eksekutif atau legislatif harus satu suara untuk mendesak pemerintah Arab Saudi melakukan pertemuan membahas perlindungan TKI yang dituangkan dalam Memorandum of Agreement (MoA).
Bobby mengungkapkan, pemerintah RI dan Arab Saudi sudah menyetujui membuat payung hukum atau peraturan tentang perlindungan TKI. Hasilnya, pada 2015 sebenarnya pemerintah Arab Saudi sudah menyerahkan draf MoA kepada pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Draf itu itu sebenarnya sudah cukup lengkap untuk melindungi para TKI. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan sudah mengganggap lengkap draf tersebut," kata Bobby dalam siaran persnya, Senin (26/3).
Setelah dipelajari oleh pemerintah, draf MoA tersebut diserahkan ke DPR untuk dibahas. Tapi, ternyata MoA itu tersendat di DPR lantaran alotnya pembahasan di fraksi dan banyaknya kepentingan antar fraksi di DPR.
"Sampai sekarang draf tersebut tidak jelas nasibnya. Pembahasan di DPR sangat alot dan banyak kepentingan, padahal MoA itu sangat menjamin perlindungan dan keamanan bagi TKI," ungkapnya.
Hal itulah yang sangat disayangkan. Apalagi draf itu, kata Bobby, mengatur tentang hak dan kewajiban para buruh migran. "Karena itu, semua lembaga negara harus bersinergi, hilangkan semua ego sektoral untuk melindungi nasib TKI. Pemerintah harus kembali merumuskan ulang MoA bersama Arab Saudi," ujarnya.