Senin 26 Mar 2018 16:31 WIB

Mahasiswa Saudi di Luar Negeri Berharap Reformasi Kerajaan

Putra Mahkota dianggap memahami generasi muda Saudi.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ani Nursalikah
Pameran otomotif khusus perempuan di Jeddah, Arab Saudi.
Foto: REUTERS/Reem Baeshen
Pameran otomotif khusus perempuan di Jeddah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW HAMPSHIRE -- Dari jarak 4.000 mil, mahasiswa asal Arab Saudi di Amerika Serikat (AS) menyaksikan transformasi politik di Tanah Airnya. Hal itu memercik sebuah harapan baru untuk masa depan di Saudi.

Dilansir di Arab News pada Senin (26/3), Putra Mahkota Mohammed bin Salman memulai serangkaian kebijakan berani di Saudi. Contonya, mengekang korupsi, mendorong perlawanan terhadap ekstremisme agama, dan menghadapi Iran yang ekspansionis.

Di dalam negeri, reformasi sosial telah menjadi agenda utama, termasuk, memungkinkan perempuan mengemudi. Sebenarnya, larangan mengemudi bagi perempuan sudah lama menjadi perhatian kritikus luar negeri Arab Saudi. Hal itu dinilai sebagai pembatasan tak rasional atas hak-hak sipil.

photo

"Ketika saya datang ke AS, hal pertama yang saya lakukan adalah mendapatkan SIM dan mengendarai mobil sendiri," kata mahasiswa asal Riyadh, Siham Karkaah (33 tahun).

Dia tiba di AS pada Agustus lalu. Saat ini, ia belajar untuk gelar master dalam pendidikan di Southern New Hampshire University (SNHU).

Sebulan setelah dia tiba, Putra Mahkota mengeluarkan dekrit yang membolehkan perempuan mengemudi. Artinya, saat ia pulang ke Saudi, ia dapat mengemudikan mobil selama berada di Tanah Air.

"Saya selalu mendukung hak-hak perempuan, dan saya benar-benar percaya akan hal itu dan kebebasan perempuan," ujar dia.

Karkaah sepenuhnya mendukung perubahan yang telah dibuat Putra Mahkota. Antusiasme Karkaah disuarakan juga pemuda Saudi yang belajar di AS, Abdullah Al-Mutairi (26). Ia optimistis Putra Mahkota mampu memimpin lebih baik daripada pemimpin sebelumnya. Sebab, menurut dia, Putra Mahkota mengerti mimpi dan cita-cita generasi muda Saudi.

"Sangat penting putra mahkota seusia dengan kami. Itu berarti dia memahami generasi kami," kata Al-Mutairi.

Dia juga mendukung kampanye antikorupsi. Ia mengapresiasi tindakan menyita sejumlah aset dari anggota keluarga Kerajaan Saudi menindaklanjuti kebijakan antikorupsi.

photo

Metode putra mahkota telah memprovokasi kekhawatiran di AS tentang penghormatan terhadap hak milik dan proses hukum. Meskipun, ada keyakinan luas di kalangan para ahli AS dan ekspatriat Saudi tindakan serius terhadap korupsi keuangan diperlukan.

"Saya tidak mengharapkan putra mahkota untuk melakukan apa yang dia lakukan, tapi saya senang dia memilih untuk itu," ujar Al-Mutairi.

Meskipun mendukung keputusan untuk membiarkan perempuan Saudi menyetir, Al-Mutairi mengatakan tindakan itu melawan aliran konservatisme yang kuat di masyarakat Saudi. Para wanita bisa pergi ke pengadilan, dan mereka bisa menang, tetapi itu mungkin berarti memutuskan hubungan dengan keluarga mereka, yang akan menjadi pengorbanan besar.

Biasanya, pelajar Saudi datang ke AS untuk mendapatkan manfaat dari lingkungan belajar yang mereka katakan lebih terbuka, mendukung dan lebih berkualitas daripada asalnya. Biaya berasal dari dana beasiswa yang didanai pemerintah Saudi, yang juga mencakup biaya hidup.

SNHU di kota New Hampshire Manchester, dianggap sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi paling inovatif di AS. SNHU telah lama populer di kalangan mahasiswa Saudi.

Mahasiswa SNHU lainnya, Hussam Samir Al-Deen mengatakan menghabiskan banyak waktunya di AS. Dia berharap mendapat pekerjaan di AS setelah lulus, tetapi tetap dapat pulang ke negaranya.

Pria berusia 28 tahun itu berkeinginan menjadi duta besar bagi Tanah Airnya. Hal itu didasarkan adanya salah presepsi menyoal dunia Islam dan Arab Saudi.

"Kebanyakan orang Amerika yang saya temui sangat baik, tetapi beberapa memiliki kesan salah tentang Arab Saudi dan tentang Islam. Saya berharap saya telah membantu meningkatkan pandangan mereka," kata dia.

Al-Deen mengatakan dia dan teman-temannya pernah mengalami kasus rasialisme yang terisolasi, atau disebut teroris oleh orang-orang di jalan. "Saya hanya mengabaikan mereka, mereka tidak benar-benar mengerti apa yang mereka katakan," ujar dia.

Ia mengatakan kehidupan di AS mengubah dirinya dan beberapa pandangannya tentang budaya. "Di Arab Saudi, lebih sulit berteman dengan wanita, atau bekerja bersama wanita, dan tidak selalu diterima Anda menikahi wanita yang Anda cintai," ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement