Selasa 27 Mar 2018 22:16 WIB

Sertifikat Unesco untuk Pinisi Diserahkan ke Sulsel

Pinisi ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda Unesco.

Pekerja bersiap menarik kapal pinisi saat akan diturunkan ke laut di kawasan pembuatan kapal pinisi Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Jumat (7/7).
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Pekerja bersiap menarik kapal pinisi saat akan diturunkan ke laut di kawasan pembuatan kapal pinisi Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Jumat (7/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BULUKAMBA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyerahkan sertifikat Unesco kepada Provinsi Sulawesi Selatan terkait didaulatnya Pinisi sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada Selasa (27/3) malam di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Pinisi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dalam sidang komite ke-12 UNESCO di Jeju Island, Korea Selatan, pada 7 Desember 2017.

Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, seni pembuatan perahu di Sulawesi Selatan itu diusulkan oleh Indonesia ke dalam UNESCO Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Dengan penetapan Pinisi ini maka Indonesia telah memiliki delapan elemen budaya dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO setelah tujuh elemen yang telah terdaftar sebelumnya, yakni Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken Papua (2012), Tiga Genre Tari Tradisional Bali (2015), serta satu program Pendidikan dan Pelatihan tentang Batik di Museum Batik Pekalongan (2009).

Hilmar mengatakan, pinisi mengacu pada sistem tali temali dan layar sekuner Sulawesi. Pinisi tidak hanya dikenal sebagai perahu tradisional masyarakat yang tangguh untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia, tetapi juga tangguh pada pelayaran internasional dan menjadi lambang dari teknik perkapalan tradisional negara kepulauan.

"Pinisi adalah bagian dari sejarah dan adat istiadat masyarakat Sulawesi Selatan khususnya dan wilayah Nusantara pada umumnya. Pengetahuan tentang teknologi pembuatan perahu dengan rumus dan pola penyusunan lambung ini sudah dikenal setidaknya 1.500 tahun," kata Hilmar.

Polanya didasarkan atas teknologi yang berkembang sejak 3.000 tahun, berdasarkan teknologi membangun perahu lesung menjadi perahu bercadik. Saat ini pusat pembuatan perahu ada di wilayah Tana Beru, Bira dan Batu Licin di Kabupaten Bulukumba.

"Serangkaian tahapan dari proses pembuatan perahu mengandung nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerja tim, kerja keras, ketelitian/presisi, keindahan, dan penghargaan terhadap alam dan lingkungan," ucap dia.

Pemberian sertifikat UNESCO ini pun diharapkan dapat meningkatkan kepudulian masyarakat akan pentingnya Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

Komunitas dan masyarakat menjadi bagian penting dalam penetapan Pinisi ke dalam daftar ICH UNESCO. Hal ini menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah serta komunitas untuk memberikan perhatian lebih dalam pengelolaan Warisan Budaya Tak Benda yang ada di wilayah masing-masing terutama bagi pengembangan pengetahuan, teknik dan seni warisan budaya tak benda yang perlu dilestarikan di tanah air pada umumnya.

Pemilihan tempat kegiatan di Kabupaten Bulukumba mengingat dalam naskah yang diajukan, bahwa masyarakat Kabupaten Bulukumba dikenal sejak jaman dahulu sebagai salah satu pusat pembuat kapal kayu tradisional, terutama di daerah Tana Beru, Bira dan Batu Licin.

Masuknya Pinisi, seni pembuatan perahu ini dalam daftar UNESCO juga harus mempunyai dampak yang luas bagi masyarakat, dan dapat menjamin pembangunan yang berkelanjutan, terutama bagi masyarakat pesisir di wilayah Sulawesi Selatan.

Penyerahan sertifikat UNESCO ini dikemas juga dengan Pesta Rakyat yang dibuka untuk seluruh masyarakat Bulukumba dan undangan yang terdiri atas Panrita Lopi, Sawi, dan Sambalu sebagai aktor utama dari pembuatan kapal tradisional ini, budayawan, serta pemangku kepentingan lainnya.

Hilmar menyebut, kegiatan ini tidak semata-mata seremonial , tetapi ketika sertifikat diserahkan berarti ada tanggung jawab mengikat yang harus dilaksanakan oleh Komunitas, Masyarakat Bulukumba, Pemerintah Daerah, Kementerian terkait, dan lebih luas lagi seluruh masyarakat Indonesia dan dunia internasional untuk menjaga tradisi ini.

"Pinisi harus terus lestari dan juga mengembangkan serta memanfaatkannya sebagai bagian dari pembangunan yang berkelanjutan," kata dia.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement