REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, M Mudzakkir mengkritisi status tahanan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang masih berada di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob di Kelapa Dua, Depok. Padahal, pengajuan kembali (PK) Ahok ditolak Mahkamah Agung sehingga seharusnya ia sudahberada di lembaga permasyarkatan (lapas).
Mudzakkir menjelaskan, penempatan Ahok ke lapas seharusnya sudah dilakukan langsung setelah keputusan diterima. "Semestinya, jaksa melakukan eksekusi lalu serahkan ke lapas untuk melaksanakan putusan pengadilan. Di sana, status Ahok berubah menjadi anak binaan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (28/3).
Proses tersebut tidak bisa diganggu gugatatas alasan apa pun, termasuk ketakutan akan kondisi lapas yang dirasa tidak aman untuk Ahok. Apabila memang lapas tertentu dianggap tidak aman, sudah sepatutnya lembaga itu dikosongkan dan semua binaan ditempatkan ke Mako Brimob.
Baca Juga: Anggota Peradi Pertanyakan Mengapa Ahok Tetap di Mako Brimob
Atau, pihak terkait mencari lapas yang paling aman di Indonesia dan lebih berada di daerah terpencil seperti Nusa Kambangan. Mudzakkir mempertanyakan kepada kejaksaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta lembaga di bawahnya terkait keputusan mereka itu.
"Ahok diperlakukan yang sama, seharusnya," ucapnya.
Kritik juga keluar dari Mudzakkir terkait pemberian remisi kepada Ahok pada Natal kemarin karena ia belum melakukan pidana penjara. Saat masih ditempatkan di Mako Brimob, tidak ada pembinaan, evaluasi, dan juga remisi yang baru dimiliki ketika seseorang sudah sah ditempatkan sebagai anak binaan.
Mudzakkir menjelaskan, sampai berapa lama pun Ahok tetap ditempatkan di rumah tahanan, berarti ia belum mendapat binaan dan memenuhi syarat pembinaan. Sekalipun sampai vonisnya habis maish di situ, Ahok tetap tidak dapat dianggap menjalani masa tahanan.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) pada Senin (26/3) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Ahok. Ahok mengajukan PK atas kasus penistaan agama, yang memvonis bahwa dia bersalah dengan hukuman dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.