REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gajah Mada, Purwo Santoso, menilai, pengajuan interpelasi sejumlah fraksi di DPRD terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terkait penataan Tanah Abang bukan berbicara kebijakan atau pun pelayanan publik. Mereka lebih cenderung ingin menggunakannya untuk kepentingan politik.
Purwomelihat, mempertanyakan kebijakan melalui interpelasi adalah hal yang aneh. Apabila pihak DPRD ingin membicarakan persoalan tata ruang dan reformulasi peraturan daerah tentang penataan Tanah Abang, maka solusinya bukanlah interpelasi.
"Tapi, kalau memang mau mengajak ribut, ya benar cara ini," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (29/3).
Purwo menambahkan, Tanah Abang di masa kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Uno ini sebenarnya adalah kelanjutan dari ketegangan masa lalu ketika Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Penataan dijadikan sebagai penanda keberhasilan bahwa ia adalah pemimpin tegas dan menciptakan ketertiban.
Tapi, Anies-Sandi menawarkan jurus lain yang lebih akomodatif kepada pihak dirugikan selama ini. Dampaknya, ada pergeseran yang diuntungkan dan dirugikan.
"Masing-masing pemimpin itu kan punya diskresinya masing-masing, dan pihak yang diuntungkan dan dirugikannya pun akan berbeda," ujar Purwo.
Purwo melihat, interpelasi merupakan hal normal dalam politik untuk mengganggu pemerintahan yang dalam kasus Tanah Abang ini adalah pemerintahan Anies-Sandi. Tujua nini semakin nyata ketika melihat fraksi yang mengajukan interpelasi bukanlah pendukung Anies.
Wacana menginterpelasi kebijakan Anies-Sandi oleh DPRD terkait kebijakan penataan Tanah Abang kembali mencuat setelah adanya laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang dikeluarkan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya pada Senin (26/3).