REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) menyayangkan sekaligus mengecam sikap tidak terpuji oknum anggota DPR, Arteria Dahlan. Ia diketahui secara sadar melontarkan kata kata umpatan kepada Kementerian Agama (Kemenag) saat membahas kasus First Travel di rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3).
Bagi KOPEL, dukungan kepada DPR melakukan pengawasan ekstra kepada Kemenag terutama dalam kewenangannya tata kelola haji dan umrah adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Bahkan, bila perlu melakukan hak angket atas masifnya mafia bisnis travel umrah belakangan ini.
"Namun bukan berarti kata umpatan itu bisa dilakukan," ujar Direktur KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (30/3).
Syamsuddin menjelaskan , berdasarkan UU MD3, DPR sesungguhnya memiliki fungsi pengawasan yang melekat pada dirinya terhadap jalannya pemerintahan, termasuk di Kemenag. Fungsi tersebut dijalankan secara optimal tentu dengan kewenangan maksimal pula, yakni bisa dengan mengundang rapat bersama, dan sebagainya.
Bahkan, atas temuan pengawasan tersebut, DPR diberi kewenangan untuk melakukan upaya politik yang bisa berimplikasi hukum. Upaya ini sesuai UU MD3 Nomor 2 Tahun 2018 yang baru sekarang. Kewenangan itu misalnya dengan melakukan angket atau hak penyelidikan.
Tapi, Syamsuddin menambahkan, bukan berarti anggota seorang anggota DPR bisa semaunya tanpa kontrol menjalankan tugas. "Mereka tetap harus tunduk dan patuh pada UU, tata tertib dan kode etik DPR dalam bekerja," tuturnya.
Umpatan seorang anggota dalam rapat adalah sesuatu yang bisa dipandang sebagai perbuatan yang sangat tidak pantas. Hal itu juga merusak moralitas dan marwah DPR yang seharusnya menjaga etika dan norma masyarakat.
Syamsuddin tidak menampik hak imunitas DPR dalam rapat. Masih merujuk pada UU MD3 nomor 2 tahun 2018 hasil revisi 17 tahun 2014, tegas mengatur adanya kekebalan hukum bagi anggota dalam menjalankan tugasnya.
Hanya saja, perlu dipahami bahwa yang dimaksud dalam UU tersebut adalah apabila seorang anggota DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan bersikap kritis atas kebijakan pemerintah. Bukan berarti yang bersangkutan bebas melakukan makian atas individu dan institusi.
Syamsuddin justru mendesak MKD harus bekerja memproses ini. MKD itu mandatnya dibentuk sebagai kontrol internal, memastikan anggota bekerja secara baik dan maksimal dan pastinya menjaga etik. "Itulah MKD mengapa pedomannya kode etik. Justru selama ini keliru dan sesat pikir kita menempatkan MKD mengawasi keluar," ucapnya.