Sabtu 31 Mar 2018 13:38 WIB

Salahuddin Wahid: Politisasi Agama Boleh untuk Bangsa

Proses pendirian agama di suatu negara tidak bisa lepas dari mempolitikkan agama.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, SUKOHARJO -- Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid atau biasa disapa Gus Solah menyatakan politisasi agama boleh dilakukan. Menurutnya, politisasi agama diperbolehkan selama untuk kepentingan dan kebaikan bangsa.

 

"Tetapi kalau politisasi agama ini untuk kepentingan perorangan, kelompok, dan partai politik, itu yang tidak diperbolehkan," kata Gus Solah pada seminar tentang Perspektif KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan Terhadap Politisasi Agama di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (31/3).

 

Ia mengatakan pada zaman dahulu, tokoh-tokoh ulama NU sudah mewajibkan pemuda Muslim untuk ikut berperang membela negara. "Pada saat itu para ulama memfatwakan agar pemuda membantu Tentara Indonesia melawan pasukan sekutu. Akhirnya sekutu yakni Inggris kalah. Itu namanya politisasi agama yang positif," katanya.

 

Menurut dia, pada proses pendirian agama di suatu negara tidak bisa lepas dari mempolitikkan agama dan mengamakan politik. Ia mengatakan hal itu memadukan Indonesia dan Islam.

 

"Kalau sekarang beda, banyak kejadian pihak tertentu memakai ayat untuk kepentingan kekuasaan sekelompok orang, ini yang tidak boleh," katanya.

 

Terkait hal itu, ia berharap agar seluruh pihak duduk bersama untuk mendiskusikan politisasi agama seperti apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. "Mumpung ini jelang pilkada, tetapi kalau pilkada isu seperti ini tidak terlalu terasa. Biasanya yang sangat terasa saat jelang pileg dan pilpres," katanya.

 

Menurut dia, saat ini masih ada waktu bagi seluruh pihak di antaranya pemerintah, partai politik, dan tokoh agama untuk membicarakan terkait politisasi agama. "Kita masih ada waktu untuk membahas ini, yang pasti tidak mudah menanamkan kesadaran untuk tidak mempolitisasi agama untuk kepentingan perorangan, kelompok, dan partai politik," katanya.

 

Senada, Rektor UMS Sofyan Anif mengatakan politisasi agama diperbolehkan jika digunakan untuk memperkuat NKRI. "Meski demikian, ini akan menjadi negatif jika digunakan untuk politik praktis dan nafsu kekuasaan," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement