REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/4) menggelar sidang lanjutan tiga perkara pengujian UU MD3. Perkara ini sebelumnya dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan dua perserorangan warga negara Indonesia.
"MK akan menggelar sidang ketiga untuk tiga perkara pengujian UU MD3, dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan pihak DPR," kata juru bicara MK Fajar Laksono melalui pesan singkatnya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Ketiga perkara tersebut menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal-pasal Kontroversial UU MD3
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari. Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangkan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi. Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.