REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, beberapa kali mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terkait ini, pengamat sosiologi Politik dari Fisipol UGM, Arie Sudjito, mengatakan serangan yang dilancarkan oleh Prabowo kepada Jokowi justru akan menjadi bumerang dan bisa menurunkan citra Prabowo sendiri.
Ia mengatakan, sikap yang diambil Prabowo dengan cara mengkritik dan bahkan menyerang Jokowi berada dalam konteks karena ia berkepentingan dengan Pemilihan Presiden yang akan digelar pada 2019 mendatang. Hal itu menurutnya, baik untuk kepentingan Gerindra maupun karena dirinya hendak mencalonkan diri pada pilpres nanti.
Jika dibandingkan dengan Pilpres 2014, Arie mengatakan Prabowo akhirnya gagal memenangkan pilpres. Meskipun saat itu, selisih perolehan suara dengan Jokowi tipis. Selanjutnya, Arie menilai amunisi Prabowo kini tidak sekuat dulu dan daya dukungnya sudah mulai melemah.
Pada 2014, Prabowo mendapat dukungan hampir sebagian besar partai-partai Islam. Karena itulah, menurutnya, Prabowo mencoba memakai amunisi atau setting dengan cara menyerang lawan politiknya.
"Tapi kan publik sudah tahu track record Prabowo. Itu artinya serangan Prabowo tidak lantas menurunkan elektabilitas Jokowi, tapi sebetulnya justru publik tidak menaruh simpati pada Gerindra dan Prabowo," kata Arie, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (2/4) malam WIB.
Apalagi, menurut Arie, blok politik Gerindra sudah tidak sesolid dulu. Di samping itu, corak memilih dari masyarakat Indonesia pun menurutnya tidak radikal dan tidak bisa begitu saja diprovokasi dengan pernyataan keras semacam itu.
Kendati demikian, ia mengatakan, bahwa siapa pun boleh memberikan kritikan. Asalkan, kata dia, ada data yang bisa mendukung dari pernyataan atau kritikan tersebut. Sehingga tidak spekulatif belaka.
"Contohnya, Indonesia akan bubar pada 2030, ini bertumpu pada apa, statement seperti itu tidak menciptakan dukungan pada Prabowo, justru sebaliknya," lanjutnya.
Sementara itu, Arie menilai Prabowo akan sulit untuk menyaingi Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Hal itu karena kapasitasnya yang dinilai sudah menurun dan pendukungnya yang juga semakin menurun.
Ia menambahkan, kalau pun terbentuk koalisi 212, hal itu juga tidak bisa ditarik sebagai basis. Melainkan, kata dia, hanya diklaim saja. Koalisi 212 yang diusulkan dibentuk terdiri dari Gerindra, PAN, PKS, dan PKB.
Arie menilai, koalisi 212 tidak menjamin banyaknya dukungan dari umat Islam itu sendiri. Menurutnya, umat Islam tidak direpresentasi atau terwakili oleh gerakan 212. Artinya, kata dia, itu hanya klaim politik yang sifatnya spekulatif.
Ia juga menilai Jokowi sejauh ini masih menjadi calon terkuat yang akan memenangkan Pilpres 2019. "Koalisi 212 adalah klaim politik dan tidak menjamin bertumpunya dukungan untuk Prabowo," ujarnya.
Sebelumnya, Prabowo sempat mengatakan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. Pada 21 Maret lalu, Prabowo kembali mengkritik kepemimpinan Jokowi saat berpidato di Hotel Bumi Wijaya Depok, Jawa Barat.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan nama Jokowi, ia mengatakan, bahwa dalam ajaran TNI tidak ada kesalahan anak buah, yang ada kesalahan komandan. "Jadi bukan ini salah menteri saya, salah dirjen saya," ujar Prabowo.