REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mengungkapkan biaya logistik di Indonesia masih tinggi. Ketua Umum GINSI Anthin Sihombing mengatakan biaya logistik di Indonesia masih paling besar. "Biaya logistik Indonesia masih tertinggi di Indonesia karena berkisar 25 sampai 30 persen dari total harga barang, jadi termasuk kita masih tinggi," kata Anthon di Le Meridien Hotel Jakarta, Selasa (3/4).
Hal itu, lanjut Anthon, akan semakin buruk jika ada pelemahan nilai rupiah. Dia menyontohkan, jika rupiah mengalami pelemahan 10 persen saja maka kenaikan biaya logistik bisa sampai lima hingga enam persen.
Kenaikan tersebut belum ditambah dengan biaya logistik di pelabuhan yang cukup tinggi. "Deposit untuk kontainer saja Rp 10 juta. Ini uang kembali tiga juta rupiah, ini belum termasuk kerusakan barang padahal ada asuransi," tutur Anthon.
Anthon juga mengeluhkan subsidi dari pemerintah untuk menekan biaya logistik juga masihg kurang. Sebab nantinya juga masih harus menanggung biaya transportasi yang masih menambah biaya logistik kembali.
Terkait hal tersebut, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi akan mencarikan solusinya. Hal itu terkait untuk menekan biaya logistik dan juga memaksimalkan dwelling time (masa bongkar muat muatan sampai ke luar pelabuhan) selama tiga hari.
"Nah untuk sekarang ini bicara tentang suatu produktivitas di pelabuhan atau murahnya suatu pelabuhan maka itu lah menjadi suatu hal yang dibutuhkan," ungkap Budi.
Untuk mengurangi biaya logistik yang masih tinggi, Budi meminta harus memaksimalkan dwelling time selama tiga hari, tidak boleh lebih. Karena jika lebih atau mengalami over stay akan dikalkulasi dalam suatu biaya operasional.
Seperti di Pelabuhan Tanjung Priok, lanjut Budi, sebanyak 50 persen barang beredar di seluruh indonesia. "Kalau kita bisa menertibkan Tanjung Priok ada 50 persen usaha barang kita jadi efisien dan Tanjung Priok bisa menjadi contoh untuk tempat lain," ujar Budi.