REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Badan penasihat antarbangsa Myanmar urusan Rohingya pada Selasa (3/4) menyatakan musim hujan mendatang dapat mengakibatkan kematian besar karena kampung pengungsi di Bangladesh, negara tetangganya, tidak dibangun untuk tahan badai.
Kelompok hak asasi menyatakan sekitar 700 ribu warga Rohingya lari dari kekerasan dan melintasi perbatasan dari negara bagian Rakhine, Myanmar sejak Agustus dan sebagian besar tinggal di tempat rapuh terbuat dari bambu dan plastik, yang bertengger di bukit bekas hutan di Cox's Bazaar.
"Kami berpacu dengan waktu. Bagi kami, musim hujan datang. Kampung berpenghuni hampir satu juta orang itu tidak dibangun untuk menahan badai. Akan ada kematian dalam jumlah sangat besar jika semua pihak tidak memahami pemulangan, tidak memahami soal bantuan," kata Kobsak Chutikul, kepala sekretariat badan itu, pada jumpa pers di Singapura.
Karena kesepakatan pemulangan antara negara bertetangga itu tertunda, Bangladesh bergegas menyiapkan rumah baru di pulau terdekat, Bhasan Char sebelum angin topan, yang bisa tiba pada akhir bulan ini. Dewan Penasihat untuk Panitia Penerapan Saran tentang Negara Bagian Rakhine itu dibentuk Myanmar pada tahun lalu untuk memberi nasihat tentang cara merumuskan temuan kelompok sebelumnya, yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan.
Pencontohan komputer oleh badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) menunjukkan bahwa lebih dari 100 ribu pengungsi terancam tanah longsor dan banjir pada musim hujan mendatang.
Musim hujan biasanya dimulai pada April dan memuncak pada Juli, kata Departemen Meteorologi Bangladesh. Tanggapan Chutikul itu datang ketika Malaysia menyergap kapal 56 pengungsi Rohingya dari Myanmar di lepas pantai utara pulau Langkawi di negara itu sesudah badai.
Malaysia akan mengizinkan mereka masuk dengan alasan kemanusiaan sementara kelompok hak asasi memperkirakan lebih banyak perjalanan berbahaya lewat laut seperti itu. Rohingya meninggalkan rumah mereka di Rakhine ke Bangladesh setelah serangan petempur pada Agustus tahun lalu memicu tindakan keras tentara, yang disebut PBB dan negara Barat adalah pembersihan suku.
Myanmar, yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha, menolak tuduhan itu, dengan menyatakan pasukannya melancarkan tindakan sah terhadap "teroris", yang menyerang pasukan pemerintah.