REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, berpandangan aturan tentang larangan eks narapidana korupsi mendaftar di Pemilihan Legislatif (Pileg) tidak tepat dimasukkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Menurut Zainal, rencana pelarangan tersebut semestinya diatur di Undang-undang karena sudah menyangkut pembatasan hak pribadi.
Maka, lanjutnya, patut dipertanyakan kembali apakah PKPU punya derajat untuk membatasi hak seseorang untuk ikut pencalonan Pileg. "PKPU tingkatannya apa, seharusnya yang begini diatur di Undang-undang, pembatasan orang itu harus dibuat di Undang-undang, tidak pas jika dibuat di PKPU," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (4/4).
Namun, Zainal mengakui, ide dasar yang disampaikan KPU memang menarik dan ia pun mendukungnya. Hanya saja, secara teknis sulit untuk menerapkan larangan itu di PKPU. Perlu pembicaraan yang lebih mendalam bersama pemangku kepentingan yang ada terkait rencana KPU.
"Bisa saja dilakukan itu, kita setuju dengan ide dasarnya. Tapi secara teknis tidak mudah karena harus dibedakan juga kejahatan yang serius dan tidak serius," katanya.
KPU terus mewacanakan larangan eks narapidana korupsi mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) demi pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan bakal memperjuangkan penerapan aturan tersebut.
"Kami akan mencoba lagi. Tidak apa-apa jika memang rentan digugat (ke Mahkamah Konstitusi). Kami perjuangkan," kata dia kemarin.
Dalam memperjuangkan aturan itu, KPU tetap mendasarkan keinginan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik secara jangka panjang. Namun, KPU menyadari dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, mantan koruptor tidak termasuk kejahatan luar biasa sebagaimana pelaku pedofilia atau narapidana kasus narkoba.
Karena itu juga, mantan narapidana korupsi tidak termasuk dalam pihak-pihak yang dilarang untuk mendaftar sebagai caleg.