REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Direktur Intelijen Luar Negeri Rusia Sergei Naryshkin mengatakan kasus penyerangan Sergei Skripal dengan menggunakan racun agen syaraf merupakan hasil provokasi Inggris dan Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kasus tersebut dimanfaatkan AS dan Inggris untuk merongrong Rusia.
"Dalam kasus Skripal, yang merupakan provokasi mengerikan yang dipentaskan oleh badan-badan intelijen Inggris dan AS, beberapa negara Eropa tidak terburu-buru mengikuti London dan Washington, tetapi memilih secara hati-hati memahami apa yang terjadi," katanya di sebuah konferensi keamanan internasional yang diselenggarakan Kementerian Pertahanan Rusia pada Rabu (4/4).
Pemerintah Rusia telah menuntut akses terhadap hasil penyelidikan kasus penyerangan Skripal. Kasus tersebut diselidiki oleh Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW).
Perwakilan Permanen Rusia untuk OPCW Alexander Shulgin mengatakan, mengutip sekretariat teknis OPCW, mereka telah setuju untuk berbagi informasi tentang penyelidikan dengan Dewan Eksekutif organisasi hanya jika Inggris menyetujui hal tersebut. "Pengacara kami telah memeriksa referensi sekretariat teknis untuk ketentuan kerahasiaan dan pendapat kami adalah referensi ini batal. Kami telah mengirim catatan yang relevan ke sekretariat teknis dan sekarang menunggu jawaban," kata Shulgin pada Senin(2/4), dikutip laman kantor berita Rusia TASS.
Menurut Shulgin, para ahli OPCW hanya akan memberikan kesimpulan tentang komposisi kimia dari agen saraf yang digunakan untuk menyerang Skripal dan putrinya di Inggris awal Maret lalu. "Para ahli teknis hanya akan dapat menghasilkan satu hasil yaitu pada komposisi kimia dari agen yang digunakan di Salisbury, tanpa indikasi asal negara dan identifikasi pihak yang bersalah," ujarnya.
Shulgin mengatakan Rusia akan berupaya mendapatkan akses ke data yang dihimpun terkait kasus penyerangan Skripal. "Kami menuntut akses ke rekaman dari kamera pengawas, transkrip percakapan telepon, sampel yang dipilih oleh ahli Inggris dan dianalisis di laboratorium Porton Down (laboratorium kimia dekat Salisbury)," kata Shulgin.
Kasus penyerangan Sergei Skripal (66 tahun) dan putrinya Yulia (33 tahun) telah memicu krisis diplomatik Inggris dengan Rusia. Skripal merupakan warga Inggris yang pernah menjadi agen intelijen militer Rusia. Ia dan putrinya diserang menggunakan agen saraf kelas militer bernama Novichok pada 4 Maret lalu.
Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal.Tuduhan tersebut didasarkan pada fakta bahwa agen saraf Novichok pernah dikembangkan pada era Uni Soviet 1970-an. Rusia membantah tegas tudingan tersebut.
Pada 15 Maret lalu, Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan mengusir 23 diplomat Rusia dari negaranya. May mengklaim 23 diplomat yang diusirnya merupakan agen mata-mata Rusia yang menyamar.
Rusia membalas hal tersebut dengan melakukan hal serupa. Moskow mengusir 23 diplomat Inggris dan menghentikan seluruh kegiatan British Council di Rusia.
Setidaknya 20 negara anggota Uni Eropa juga telah mendukung Inggris. Dukungan diberikan dengan cara mengusir diplomat-diplomat Rusia yang diyakini sebagai agen mata-mata. Sekitar 45 diplomat Rusia telah terusir dari beberapa negara Eropa hingga saat ini.
AS dan Australia pun melakukan hal serupa. AS telah mengusir 60 diplomat Rusia sebagai bentuk dukungan terhadap Inggris. Sedangkan Australia mengusir dua diplomat Rusia.