REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Halofom Sultan (38 tahun) melarikan diri dari penjara di negara asalnya, Eritrea, karena menentang pemerintahan yang menindas, dan kemudian pergi ke Israel untuk mencari suaka. Ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan kesepakatan dengan UNHCR pada Senin (2/4) untuk memukimkan puluhan ribu migran Afrika ke Barat, Sultan mengaku memiliki sedikit harapan.
"Ada sedikit cahaya," katanya. Namun beberapa jam kemudian, Netanyahu justru membatalkan kesepakatan itu dan membawa masa depan Sultan, serta masa depan ribuan migran lainnya, dalam ketidakpastian.
Pembatalan yang disampaikan Netanyahu adalah perubahan terbaru dalam kebijakan Israel dalam menangani migran. Dengan demikian, para migran harus menunggu keputusan berikutnya dari pemerintah Israel untuk mengetahui nasib mereka.
"Rasanya seperti balon yang dilemparkan ke lautan dan menuju ke arah manapun angin bertiup. Sepanjang waktu ada hukum baru, amandemen baru, yang berubah setiap saat. Jadi saya tidak memiliki opsi atau rencana yang jelas atau visi yang jelas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Sultan.
Sultan mengatakan ia meninggalkan tanah airnya di Afrika karena ia berada dalam bahaya. Dia telah dipenjara beberapa kali karena penentangannya terhadap pemerintah dan takut hidupnya berisiko jika dia tinggal lebih lama.
Dia pergi dan menghadapi perjalanan yang berbahaya, meninggalkan istri dan anak-anaknya di Eritrea untuk mencari keselamatan. Dia belum melihat keluarganya lagi sejak dia melarikan diri pada 2010.
Dia telah bekerja di sebuah kedai kopi Israel dan situs konstruksi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tahun lalu, dia dikirim ke fasilitas penahanan Holot Israel selama setahun sebagai bagian dari kebijakan migran Israel.
Sekarang ia menganggur dan menghabiskan waktunya sebagai organisator komunitas yang bekerja untuk kondisi yang lebih baik dan mencari solusi bagi sesama migran. Dia menuduh Netanyahu memainkan politik dan mendesak Israel untuk mencari solusi. "Saya ingin menjelaskan bahwa ini adalah kasus kemanusiaan, bukan masalah politik," ujarnya.
Ribuan migran dan warga Israel menatap tak percaya bagaimana Netanyahu dengan bangga mengumumkan rencana untuk mengirim migran Afrika ke Barat di TV nasional, namun langsung membatalkannya begitu saja. Sebelumnya, kesepakatan itu disebutnya sebagai kesepakatan yang baik dan jalan keluar bagi masalah migran di Israel.
Netanyahu mengatakan, pemerintah Israel setuju untuk membatalkan rencana pengiriman puluhan ribu migran Afrika. Dalam kesepakatan itu, Israel rencananya akan mengirim separuh dari jumlah migran ke negara-negara Barat dan membiarkan sisanya untuk tetap tinggal di Israel.
Setelah mendapat protes keras dari anggota koalisinya dan penduduk dari lingkungan miskin di Tel Aviv selatan tempat banyak migran Afrika tinggal, Netanyahu menangguhkan kesepakatan tersebut. Kemudian, setelah melakukan pertemuan pada Selasa (3/4) dengan penduduk Tel Aviv, dia mencabut kesepakatan itu sepenuhnya.
"Setelah saya menimbang pro dan kontra, saya memutuskan untuk membatalkan kesepakatan ini. Kami akan terus bekerja dengan tekun untuk menilai semua pilihan yang kami miliki untuk menghentikan para penyusup," ujar Netanyahu.
Orang-orang Afrika, terutama yang berasal dari Sudan dan Eritrea, mulai tiba di Israel pada 2005. Mereka masuk melalui perbatasan Israel dengan Mesir, setelah pasukan Mesir menyebarkan berita tentang keselamatan dan adanya kesempatan kerja di Israel. Puluhan ribu orang menyeberangi perbatasan gurun, melalui perjalanan yang cukup berbahaya, sebelum Israel menyelesaikan pagar pembatas pada 2012 yang menghentikan arus masuk para migran.
Sejak saat itu, Israel bergulat dengan bagaimana cara mengelola migran yang sudah ada di negara mereka. Banyak yang mengambil pekerjaan kasar di hotel dan restoran. Ribuan migran menetap di Tel Aviv selatan dan warga Israel mulai mengeluh karena meningkatnya aksi kejahatan.
Para politikus Israel menyebut mereka sebagai penyusup, dan bahkan menyebut mereka sebagai "kanker" yang akan mengancam karakter Yahudi di negara itu. Israel telah menahan banyak dari para migran di penjara gurun terpencil setelah mencapai kesepakatan dengan negara ketiga, yaitu Rwanda, untuk meminta mereka dideportasi.
Kritik dari dalam negeri dan dari komunitas Yahudi Amerika menyebut rencana untuk mendeportasi para migran ke negara ketiga adalah rencana yang tidak etis. Rencana itu menodai citra Israel sebagai tempat perlindungan bagi para migran Yahudi.
Dror Sadot, juru bicara kelompok advokasi Hotline for Refugees and Migrants, mengatakan nasib para pencari suaka masih belum jelas. Hal itu karena Netanyahu sendiri mengakui tidak ada kesepakatan dengan Rwanda dan belum memiliki kebijakan alternatif.
"Tentu saja kami akan melanjutkan perjuangan kami dan mempertimbangkan semua pilihan hukum sampai setiap pencari suaka terakhir mendapatkan status yang pantas mereka terima," kata Netanyahu.