REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puisi Sukmawati Soekarnoputri mendadak viral dan menjadi perbincangan hangat bagi publik. Pasalnya, puisi yang berjudul Ibu Indonesia itu menyinggung soal syariat Islam, khususnya tentang azan dan cadar.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW), Hery Haryanto Azumi, mengatakan terjadinya perdebatan soal puisi yang dibawakan Sukmawati itu merupakan sebuah panggilan bagi para ulama untuk melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. "Kontroversi puisi Sukmawati adalah wake up call bagi para ulama dan kalangan umat Islam pada umumnya untuk lebih mengedepankan dakwah dengan pendekatan budaya," ujar Hery Haryanto Azumi dalam keterangan tertulis, Rabu (4/4).
Hery mengatakan bahwa bangsa ini tidak boleh terpecah belah hanya gara-gara ketidakpahaman tentang ajaran Islam. Karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman, MDHW mengajak segenap ulama untuk menggelar halaqah kebudayaan nasional dalam rangka untuk menggali dan menunjukkan ke publik bagaimana Islam telah berpengaruh ke dalam budaya dan budaya telah mempengaruhi pendekatan Islam terhadap lokalitas.
"Islam dan kebudayaan tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling mempengaruhi dan saling melengkapi," ucapnya.
Hery menuturkan bahwa Islam dan budaya harus selalu dicari titik temuanya melalui proses penyesuaian dan saling serap sehingga menjadi ruh budaya nasional. "Islam yang telah menjadi budaya akan lebih mudah masuk ke semua kalangan karena telah menjadi identitas budaya nasional," kata Hery yang juga Wasekjen PBNU ini.
Hery mencontohkan bagaimana ekspresi dakwah Islam zaman Wali Songo. Saat itu dakwah yang dilakukan Wali Songo juga menggunakan pendekatan budaya sehingga mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. "Contoh paling apik bagaimana pertalian Islam dan budaya ini dapat dilihat dari ekspresi dakwah Islam yang dilakukan para Wali Songo," jelasnya.
Hery menambahkan, halaqah kebudayaan ini sangat penting dalam rangka memposisikan agama dan budaya. Karena di era sekarang ini, menurut Hery, diskursus agama dan budaya masih belum sepenuhnya dipahami secara utuh, sehingga selalu menimbulkan kesalahpahaman.
"Perlu adanya diskusi atau dialog untuk memberikan pemahaman agar tidak terjadi kesalahpahaman. Inilah yang masih kurang di bangsa ini. Karena setiap ada peristiwa selalu direspons secara raktif tanpa ada pendalaman dan dialog di dalamnya," tuturnya.