REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri memang sebaiknya dihentikan di ranah hukum dan diselesaikan secara persuasif. Kasus ini bisa memunculkan kembali polarisasi di tengah masyarakat jika tetap dilanjutkan.
"Kasus ini jika diteruskan, akan melahirkan polarisasi kembali dalam masyarakat. Karena itu, sebaiknya diselesaikan secara persuasif saja. Penyelesaian persuasif ini tidak berarti membiarkan begitu saja, tapi juga harus ada kesepakatan bersama, selain Sukmawati yang telah mengakui kesalahannya," kata dia, Kamis (5/4).
Menurut Fickar, ada hal yang bisa menjadi sanksi alternatif bila menggunakan penyelesaian persuasif. Misalnya, Sukmawati menyampaikan permohonan maaf secara langsung di media massa. Pemasangan permohonan maaf satu halaman penuh di surat kabar nasional, lanjutnya, bisa menjadi alternatif dan cara untuk menutup kasus.
"Sebaikya permintaan maaf bisa dengan satu halaman penuh di beberapa koran nasional sebagai sanksi dan juga sebagai konsensus untuk menutup kasus ini," tuturnya.
Rabu (4/4) kemarin, Sukmawati meminta maaf atas puisi berjudul "Ibu Indonesia" yang dibacakan dalam acara 29 tahun Anne Avantie berkarya pada Rabu (28/3) lalu. Sukmawati mengaku tidak memiliki niat menghina umat Islam Indonesia dengan puisi yang dibacakannya. "Dari lubuk hati paling dalam, saya mohon maaf lahir dan batin kepada umat Islam Indonesia," ucapnya.
In Picture: Sukmawati Soekarnoputri Akhirnya Meminta Maaf.
Sukmawati menyampaikan bahwa tidak ada rencana ataupun niatan sama sekali untuk mencela dan menghina umat Islam seperti yang ditujukan ke dirinya beberapa hari terakhir. Perempuan berusia 67 tahun itu juga menyampaikan permohonan maaf kepada desainer Anne Avantie dan keluarga.
"Saya sampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh perancang busana Indonesia agar tetap berkreasi dan produktif," ucap Sukmawati.