Rabu 04 Apr 2018 17:00 WIB

Permohonan Maaf Kepada Gus Mus

Republika memohon maaf yang sedalam-dalam dan setulus-tulusnya kepada Gus Mus.

  KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).

REPUBLIKA.CO.ID  JAKARTA -- Republika.co.id telah menurunkan tulisan dengan judul 'Ketika Agama Kehilangan Tuhan' pada 14 Februari 2018. Dalam tulisan itu tercantum nama KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) sebagai penulisnya.

Tulisan ini telah menjadi viral dan mendapat beragam respons. Pada faktanya, tulisan yang disadur dari media sosial Youtube itu jelas-jelas bukan tulisan Gus Mus.

Republika.co.id mengakui ada kesalahan prosedur jurnalistik dalam penulisan dan pemuatan tulisan ini. Penelurusan penulisan ini tidak dilakukan dengan cara yang benar dan objektif.

Republika.co.id memohon maaf yang sedalam-dalam dan setulus-tulusnya kepada KH A Mustofa Bisri atas kesalahan ini. Sebagai tanggung jawab, tulisan tersebut sudah kami tarik, kami buat klarifikasi, dan kami sampaikan permohonan maaf.

Kami sangat menghormati sosok Gus Mus, tokoh sekaligus ulama besar panutan umat yang sangat disegani serta figur pemaaf. Gus Mus bukan hanya milik umat Islam, tetapi juga seluruh bangsa.

Kami, Republika.co.id, sangat menyadari tulisan itu telah merugikan nama baik Gus Mus. Dan ini menjadi pelajaran berharga buat Republika.co.id untuk lebih berhati-hati ke depannya.

Sekali lagi kepada Gus Mus dan keluarga besar, kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 4 April 2018

 

--Berikut ini tulisan yang diturunkan:--

Ketika Agama Kehilangan Tuhan

Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya. Dulu orang berhenti membunuh sebab agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama. Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama.

Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu,Tuhannya pun tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?

Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja.

Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas di antara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.

Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus.

Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama. Dulu agama ditempuh untuk mencari Wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.

Esensi beragama telah dilupakan. Agama kini hanya komoditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa.

Agama kini diper-Tuhankan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan. Agama kini menghujat Tuhan. Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan.

Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci?

Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.

Agama dijadikan senjata untuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement