REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia telah menyerukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggelar pertemuan guna membahas kasus penyerangan Sergei Skripal. Kasus ini telah memicu krisis diplomatik antara Rusia dengan Inggris, Amerika Serikat (AS), dan beberapa negara Eropa.
Rusia, pada Kamis (5/4), menuntut digelarnya sidang terbuka di Dewan Keamanan PBB. Menurut Moskow sidang ini diperlukan guna membuktikan klaim dan tuduhan Inggris bahwa Rusia merupakan dalang aksi penyerangan Skripal.
Seruan digelarnya pertemuan di PBB dilakukan setelah Rusia kehilangan akses terhadap penyelidikan Skripal yang dilakukan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW). Rusia kalah dalam hasil pemungutan suara, walaupun cukup banyak negara yang abstain.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan aksi pengusiran diplomat Rusia akibat kasus Skripal merupakan ejekan terhadap hukum internasional. Sebab Rusia belum terbukti menjadi otak penyerangan tersebut.
"Kasus agen saraf yang meracuni Sergei Skripal dipentaskan untuk membenarkan pengusiran (diplomat Rusia) dari banyak negara yang lengannya dipelintir," ujar Lavrov.
Kasus penyerangan Sergei Skripal (66 tahun) dan putrinya Yulia (33 tahun) telah memicu krisis diplomatik Inggris dengan Rusia. Skripal merupakan warga Inggris yang pernah menjadi agen intelijen militer Rusia.
Ia dan putrinya diserang menggunakan agen saraf kelas militer bernama Novichok pada 4 Maret lalu. Informasi terakhir, Skripal dan putrinya masih dalam keadaan kritis.
Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal. Tuduhan ini didasarkanpada fakta bahwa agen saraf Novichok pernah dikembangkan pada era Uni Soviet pada tahun 1970-an. Rusia membantah tegas tudingan tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan negaranya tidak lagi memiliki senjata kimia. Semua senjata kimia milik Rusia, kata Putin, telah dihancurkan di bawah pengawasan organisasi internasional.