REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam lanjutan sidang gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM menghadirkan dua saksi ahli sekaligus, yaitu ahli sosiologi politik Islam dan ahli pemikiran dan politik Islam. Agenda persidangan kali ini, Kamis (5/4) sama seperti pekan lalu yaitu mendengarkan keterangan saksi dari pihak tergugat.
Ahli pertama yang dihadirkan di persidangan oleh pemerintah adalah ahli sosiologi politik Islam Zuli Qodir. Kepada majelis hakim, Zuli menjelaskan kembali bahwa Pancasila adalah dasar negara yang telah disepakati oleh pendiri bangsa, yang juga termasuk ulama di dalamnya.
Sementara, HTI berkehendak mengubah dasar negara Indonesia, yang sudah disepakati di zaman sebelum kemerdekaan. “Dasar negara adalah dibentuk oleh elemen bangsa, termasuk ulama, dimana HTI tidak turut memikirkannya bahkan menyetujuinya,” terang Zuli di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Kamis (5/7).
Saksi ahli juga menegaskan bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Menurutnya, di alam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan, hubungan individu dengan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.
Zuli menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Pancasila berdampingan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu sebelum persidangan, kuasa hukum Menkumham I Wayan Sudirta kembali mengingatkan publik bahwa langkah yang diambil oleh Kemenkumham dengan mencabut keabsahan HTI sebagai organisasi kemasyarakat sudah sesuai dengan prosedur.
Sebelumnya, Menkumham juga menghadirkan saksi ahli hukum administrasi negara Zudan Arif Fakhrulloh yang juga menjabat Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Zudan menjelaskan hal-hal terkait keputusan tata usaha negara serta kewenangan pejabat secara umum, yang secara tidak langsung menggambarkan legalitas Pemerintah melalui Menkumham mencabut status badan hukum HTI.
Dia menjelaskan setiap keputusan tata usaha negara dapat dinyatakan sah apabila memenuhi tiga aspek. Pertama, tertib kewenangan yakni ditandatangani oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Kedua, dibuat dengan prosedur yang sudah disepakati dalam institusi. Ketiga, memiliki substansi yang benar yaitu tidak memuat cacat yuridis, tidak khilaf, tidak ada penipuan dan paksaan.