Jumat 06 Apr 2018 12:00 WIB

RI Tertinggal dari Malaysia Soal Jaminan Halal

Lambatnya implementasi pelaksanaan sistem jaminan produk halal menjadi penyebabnya.

Rep: Novita Intan/ Red: Agung Sasongko
Logo halal Malaysia/ilustrasi
Foto: arabianoilandgas.com
Logo halal Malaysia/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Memasuki empat tahun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diundangkan, sampai saat ini undang-undang tersebut belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. Bahkan, UU JPH belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di Tanah Air.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, mengatakan, kondisi tersebut menunjukkan kurang seriusnya perhatian pemerintah terhadap pertumbuhan industri halal yang sesuai harapan masyarakat.

 

“Kita tertinggal dari Malaysia, bahkan Thailand. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, terlihat gamang untuk melaksanakan Sistem Jaminan Halal sesuai perintah undang-undang," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Jumat (6/4).

 

Peraturan pemerintah (PP) yang belum terbit sebagai peraturan pelaksana undang-undang berkontribusi menjadikan tidak berfungsinya secara efektif Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.

 

Bahkan, hingga saat ini belum lahir satu pun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI.

 

BPJPH MUI pun sampai kini belum rampung merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan sertifikasi bagi suditor halal setelah diundangkanya UU JPH. Keadaan ini teramat serius guna menjawab apakah mandatori sertifikasi halal dapat dijalankan sesuai amanat UU.

 

Kondisi ini diharapkan tidak menimbulkan keraguan dan kegamangan, apalagi kegalauan bagi dunia usaha dan industri serta UKM yang akan mengajukan permohonan dan perpanjangan sertifikasi halal.

 

"Tidak perlu juga harus menunggu karena UU JPH telah cukup memberikan instrumen untuk mengantisipasi keadaan demikian," ungkapnya.

 

Tarik-menarik kepentingan antara kementerian terkait dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) menyebabkan terhambatnya penerbitan peraturan pemerintah. Sebab, hal itu memang harus sinkron dan harmoni. Macetnya pembahasan PP perlu dihawatirkan akan menimbulkan persoalan baru dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan berimplikasi pada penerapan sistem jaminan halal di Indonesia.

 

Untuk itu, sikap yang jelas dari pemerintah diperlukan agar tidak menimbulkan keraguan bagi dunia usaha dan industri, apakah mandatori sertifikasi halal dapat dijalankan melalui BPJPH atau sementara tetap dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal yang sudah berjalan saat ini, yakni LPPOM MUI dengan berbagai penguatan, baik kelembagaan, organisasi, auditor halal, maupun sarana laboratoriumnya.

 

Kejelasan dan kejujuran pemerintah sangat diperlukan guna menghindari ketidakpastian penyelenggaraan sistem jaminan halal dan ketersediaan produk halal di masyarakat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang berakibat pada perekonomian nasional. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement