REPUBLIKA.CO.ID, Pada 7 April 1994, pasukan bersenjata Rwanda membunuh 10 petugas penjaga perdamaian Belgia. Pembunuhan ini bertujuan untuk mencegah intervensi internasional dalam aksi genosida yang terjadi di negara tersebut.
Dalam tiga bulan, kelompok ekstremis Hutu yang mengendalikan Rwanda, secara brutal membunuh sekitar 500 ribu hingga 1 juta penduduk sipil Tutsis dan Hutu moderat. Insiden ini merupakan genosida etnis terburuk sejak Perang Dunia II.
Akar genosida ini berasal dari awal 1990-an, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang penduduk Hutu, mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasikan kekuatannya di antara suku Hutu. Mulai Oktober 1990, ada beberapa insiden pembantaian ratusan penduduk Tutsi.
Meskipun kedua kelompok etnis ini sangat mirip, bahkan berbagi bahasa dan budaya yang sama selama berabad-abad, undang-undang mengharuskan adanya pendaftaran berdasarkan etnis. Pemerintah dan tentara Rwanda mulai mengumpulkan Interahamwe (yang artinya "mereka yang menyerang bersama-sama") dan bersiap untuk menyingkirkan para Tutsi dengan mempersenjatai penduduk Hutu.
Dilansir di History, pada Januari 1994, pasukan PBB di Rwanda memperingatkan bahwa pembantaian besar sudah semakin dekat. Pada 6 April 1994, Presiden Habyarimana terbunuh ketika pesawatnya ditembak jatuh.
Tidak diketahui apakah serangan itu dilakukan oleh Rwandan Patriotic Front (RPF), organisasi militer Tutsi yang ditempatkan di luar negeri pada saat itu, atau oleh ekstremis Hutu yang mencoba menghasut pembunuhan massal.
Setelah itu, ekstremis Hutu di militer, yang dipimpin oleh Kolonel Theoneste Bagosora, segera beraksi dengan membunuh suku Tutsi dan Hutu moderat dalam beberapa jam setelah kecelakaan Habyarimana. Pasukan penjaga perdamaian Belgia tewas pada hari berikutnya, dan insiden ini menjadi alasan penarikan pasukan AS dari Rwanda.
Segera setelah itu, stasiun radio di Rwanda menyiarkan permohonan kepada mayoritas penduduk Hutu untuk membunuh semua penduduk Tutsi di negara tersebut. Tentara dan polisi nasional melakukan pembantaian dan mengancam warga Hutu lain yang enggan ikut serta.
Ribuan orang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman mati dengan parang oleh etnis tetangga mereka. Terlepas dari kejahatan yang mengerikan ini, komunitas internasional, termasuk AS, ragu-ragu untuk mengambil tindakan apa pun.
Mereka salah menganggap genosida ini sebagai kekacauan di tengah perang antar-suku. Presiden AS Bill Clinton kemudian mengakui kegagalan Amerika untuk menghentikan genosida itu dan menyatakan penyesalan terbesar dari pemerintahannya.
Kekacauan ini kemudian diserahkan kepada RPF yang dipimpin oleh Paul Kagame, untuk memulai kampanye militer yang pada akhirnya berhasil mengendalikan Rwanda. Pada musim panas, RPF berhasil mengalahkan pasukan Hutu dan mengusir mereka keluar dari negara dan masuk ke beberapa negara tetangga. Namun, pada saat itu, diperkirakan 75 persen penduduk Tutsi yang tinggal di Rwanda telah dibunuh.