Sabtu 07 Apr 2018 15:27 WIB

Sejarah Literasi di Indonesia Cukup Tua

Kini semua literatur bisa diakses melalui gawai

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Agung Sasongko
Borobudur
Foto: Antara
Borobudur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pendidikan Islam, Prof Arief Rachman, menjelaskan, gawai seharusnya bisa juga menjadi wadah literasi.Karena itu, selain menggunakan gawai, masya rakat tetap perlu membaca buku ilmiah karena tidak semua literatur bisa di akses lewat gawai.

"Jadi, buku ilmiah itu tetap wajib diketahui dan dijadikan pegangan, kata pakar pendidikan Islam Arief Rachman saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.

Arief menjelaskan, Indonesia sejatinya merupakan negara dengan sejarah literasi yang cukup tua.

Salah satu buktinya literasi yang hingga saat ini masih dapat dilihat di candi-candi peninggalan leluhur, seperti Borobudur dan Pramban an. Selain itu, budaya literasi juga sudah dilakukan oleh pada leluhur, salah satu karyanya adalah buku-buku tua dari zaman kerajaan Majapahit yang saat ini telah dikumpulkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya benda dan tak benda.

"Namun, kita harus akui bahwa melek baca banyak kurang. Maka, gerakan budaya literasi harus terus dilanjutkan dan jangan sampai berhenti," kata Arief.

Selain itu, Arief melihat banyaknya masyarakat yang mampu membaca, tapi tidak dapat mematuhi pesan yang disampaikan dalam bacaan tersebut. Salah satu contohnya, menurut dia, rambu lalu lintas yang sangat sering dijumpai. Seperti perintah dilarang parkir hingga rambu selanjutnya, tapi masih banyak pengendara yang berhenti di sana.

Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa warga Indonesia sejatinya dapat mem baca dan mengerti makna dari apa yang mereka baca, tapi enggan untuk melakukan atau mematuhi pesan tersebut. Sedangkan alasan dibalik hal itu, kata Arief, berhubungan dengan kedisiplinan psikologis warga Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement