REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang pada Sabtu (7/4) mengaktifkan kembali satuan angkatan laut pertamanya. Pengaktifan tersebut guna menghadapi kekuatan Cina yang berupaya menduduki wilayah kepulauan Jepang di sepanjang tepi laut Cina Timur.
Cina telah mengklaim sekelompok pulau tak berpenghuni di Laut Cina Timur yang dikendalikan oleh Jepang. Dalam upacara di pangkalan militer dekat Sasebo di pulau barat daya, Kyushu, sekitar 1.500 anggota Brigade Tanggap Cepat Amfibi (ARDB), yang mengenakan samaran, berbaris di luar di tengah cuaca dingin berangin. "Mengingat keadaan pertahanan dan keamanan semakin sulit di sekitar Jepang, pertahanan pada kepulauan kami menjadi mandat penting," kata Tomohiro Yamamoto, wakil menteri pertahanan, dalam pidatonya.
Pasukan tersebut melakukan tiruan pelatihan umum untuk merebut kembali pulau terpencil dari penjajah selama 20 menit. Pembentukan brigade laut Jepang dianggap kontroversial, karena unit amfibi dapat memproyeksikan kekuatan militer dan kritikus memperingatkan hal tersebut dapat digunakan untuk mengancam negara tetangga Jepang. Dalam konstitusi pasca-Perang Dunia Kedua, Jepang meninggalkan hak untuk berperang.
Brigade tersebut merupakan komponen terbaru dari angkatan laut yang sedang berkembang, mencakup kapal induk helikopter, kapal amfibi, pesawat terbang militer tiltrotor Osprey pengangkut pasukan dan kendaraan serbu amfibi, yang dimaksudkan untuk menghalangi Cina saat pihaknya mendorong akses yang lebih mudah ke Pasifik Barat.
Cina, yang mendominasi kawasan Laut Cina Selatan, melampaui Jepang dalam hal pembelanjaan pertahanan. Pada 2018, Beijing akan membelanjakan 1,11 triliun yuan (176,56 miliar dolar AS) untuk angkatan bersenjatanya. Angka tersebut tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang.
Aktivasi dari 2.100 ARDB yang kuat membawa Jepang selangkah lebih dekat untuk menciptakan kekuatan yang mirip dengan Unit Ekspedisi Laut AS (MEU), yang mampu merencanakan dan melaksanakan operasi di laut yang jauh dari pangkalannya.
"Mereka telah menunjukkan kemampuan untuk menyusun MEU untuk saat ini. Tetapi untuk memiliki kemampuan MEU yang solid dan kokoh membutuhkan upaya bersama," menurut Grant Newsham, seorang peneliti di Forum Jepang untuk Studi Strategis.
"Jika Jepang berpikir hal tersebut, dalam satu tahun atau satu setengah tahun mereka dapat memiliki kemampuan yang layak," jelasnya.
Newsham, yang membantu melatih pasukan amfibi pertama Jepang sebagai perwira penghubung kolonel Marinir AS yang ditugaskan ke Pasukan Bela Diri Darat (GSDF), mengatakan Jepang masih membutuhkan markas amfibi angkatan laut gabungan untuk mengoordinasikan operasi serta lebih banyak kapal amfibi untuk membawa pasukan dan peralatan.
Perencana militer Jepang telah mempertimbangkan beberapa tambahan tersebut. Angkatan Pertahanan Diri Udara (ASDF) ingin mendapatkan F-35B untuk beroperasi dari kapal induk Izumo dan Ise, atau dari pulau-pulau di sepanjang Laut Cina Timur, menurut sumber.
AS pada bulan lalu mengerahkan F-35B untuk operasi pertama mereka di atas kapal penyerangan amfibi USS Wasp, yang berbasis di Sasebo. Pelabuhan Kyushu juga merupakan rumah bagi kapal induk Ise Jepang dan dekat dengan basis ARDB.
Secara terpisah, GSDF dapat memperoleh kapal amfibi kecil hingga sepanjang 100 meter panjang untuk mengangkut pasukan dan peralatan antar pulau-pulau dan dari kapal ke pantai, menurut dua sumber yang akrab dengan diskusi itu. Pasukan darat Jepang belum mengoperasikan kapal mereka sendiri sejak Perang Dunia II.
"Idenya adalah membawa pasukan dan perlengkapan di kapal besar ke pulau utama Okinawa dan kemudian menyebarkannya ke pulau lain dengan kapal lebih kecil," kata sumber, yang meminta tidak dikenali karena tidak berwenang berbicara dengan media.