REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Persaudaraan Alumni (PA) 212, Bernard Abdul Jabbar, mengaku khawatir soal adanya polarisasi di kalangan masyarakat bila kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri terus dilanjutkan. Ia pun tidak ingin itu terjadi. Namun, menurut dia, hukum harus ditegakkan agar kasus serupa tidak terjadi lagi.
"Rasa khawatir, ketakutan, itu sudah pasti ada, tapi sebenarnya kasus ini enggak akan ada kalau Bu Sukma enggak membacakan puisi itu. Ini kan ada asap karena ada api. Kalau enggak begini (dilaporkan), ya gimana, proses hukumnya seperti apa," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (8/4).
Terlepas dari adanya kasus puisi Sukmawati, lanjut Bernard, polarisasi di tengah masyarakat juga berpotensi terjadi. Sebab, 2018 ini adalah tahun politik, ketika seluruh partai politik mempersiapkan diri menghadapi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada 2019.
"Enggak ada ini juga kekhawatiran pasti ada dan kondisi sekarang memang lagi tahun panas. Tahun politik, ya, tapi jangan sampai mengabaikan penegakan hukum juga dong, bahwa ini loh ada kasus tindakan pidana," ungkap dia.
Karena itu, Bernard menyampaikan, seharusnya polisi juga jeli melihat kasus puisi Sukmawati sebagai tindak pidana tanpa harus ada laporan masyraakat. Polisi, ungkapnya, harus tetap memproses hukum Sukmawati, sekalipun Sukmawati anak prokmator kemerdekaan Indonesia, Soekarno.
"Tanpa ada laporan tetap diproses dan bahkan ditanya, diperiksa," katanya.
PA 212 pada 4 April lalu melalui beberapa anggotanya melaporkan Sukmawati ke Bareskrim Polri atas puisi berjudul "Ibu Indonesia" yang diduga berunsur pelecehan agama. PA 212 menilai permintaan maaf tidak boleh menjadi penghalang tegaknya hukum di Indonesia.