Senin 09 Apr 2018 12:14 WIB

Al-Manshur tak Tergoda Kejayaan Andalusia

Cita-cita Al-Manshur wafat syahid sebagai mujadid.

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Andalusia, Spanyol
Foto: picturesspain.com
Andalusia, Spanyol

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Daulah Umayyah ketika itu menjadi yang terkuat di Semenanjung Iberia. Kekuatan militernya menaklukkan Barcelona (985), Santiago de Compostela (997) di Galicia. Ekspansi itu mengakibat kan lawan perangnya kalah dan mengalami kerugian besar. Pertumpahan darah terjadi karena tidak ada kesepakatan damai antara pihak al-Manshur dan kerajaan tersebut.


Hal berbeda terjadi dengan Kerajaan Navarra (Reino de Navarra) yang menguasai wilayah Pirenia. Umayyah dan Navarra sepakat untuk berdamai. Pihak Navarra menikahkan al-Manshur dengan putri Raja Sancho II, Abda. Tak hanya itu, sang jenderal juga menikahi Teresa, putri Raja Bermudo II dari Leon.

Hidup sebagai penguasa penuh dengan kenikmatan, apa yang diinginkan pasti terlaksana. Anak buah dan pembantu bergerak melaksanakan titah paduka. Tapi, gemerlap dan nikmat kekuasaan tak membuatnya tenang.

Al-Manshur merasakan itu di saat berada di puncak kenikmatan hidup.Kalau dilihat secara kasat mata, dia seharusnya selalu tersenyum dan bahagia.Istrinya adalah wanita-wanita cantik berdarah biru. Hartanya berlimpah. Ia tinggal di istana yang begitu luas. Makanan dan minuman lezat dihidangkan setiap saat. Pakaian yang indah pasti sudah disiapkan dalam jumlah banyak di istana. Entah mengapa, al-Manshur merasakan, semua itu bukan sumber ketenangan.

Batinnya selalu diusik dengan pertanyaan seputar kematian. Bagaimana dirinya akan mati? Apakah dalam keadaan hina? Mati dalam kubangan harta benda melimpah ruah? Atau, dalam kejayaan kekuasaan duniawi yang fana? Atau, dalam pelukan istri-istri cantik di sekelilingnya? Buat apa itu semua jika tak dapat membawanya kepada ridha Ilahi!

Dia kemudian teringat berbagai dalil kematian. Menghadapi kematian adalah kepastian. Rasulullah bersabda, ...berbuatlah untuk akhirat, seakan mati besok. Setiap hari harus selalu berbuat baik untuk menjadi bekal kematian. Pemikiran itu selalu terbesit dalam benaknya.

Al-Manshur kemudian berkesimpulan, dirinya harus mati di medan juang, sebagai mujahid, syahid membesarkan panji Allah dan kemuliaan Islam. Cita- cita itu sangat dihayatinya. Dia meminta anak dan istrinya untuk membuatkan kain kafan khusus untuknya.

Ketika hendak berperang, sang jenderal bukan sekadar membawa pasukan dalam jumlah besar lengkap dengan senjata dan perbekalan. Dia juga membawa serta lembaran kain kafan, pembungkus tubuhnya di alam kubur.

Dia juga membawa tanah yang kelak akan dimanfaatkan untuk mengubur jasadnya. Cita-cita itu terbesit di benaknya dengan harapan setelah meninggalkan dunia fana, dia dapat menggapai ridha Allah dan terhindar dari derita siksa neraka yang tak terhingga.

Ketika sampai di Baghdad pria bergelar al-Manshur Billah ini meninggal dunia. Cita-citanya untuk mati sebagai mujahid terwujud. Sejarah mengabadikan namanya dalam berbagai literatur. Rupanya, diabadikan dalam sebuah patung di Andalusia. Tangan kanannya membawa buku. Sedangkan, tangan kiri memegang pedang yang tersimpan di dalam jubahnya.

Kepemimpinan al-Manshur digantikan anaknya al-Muzhaffar Abu Marwan Abdul Malik bin Muhammad. Dia masih mengikuti gaya kepemimpinan almarhum. Kekuasaan Islam masih berpengaruh dan ditakuti. Tapi, setelah al-Muzhaffar tutup usia, Daulah Islam di Andalusia semakin terpuruk karena ambisi merebut takhta yang mengakibatkan konflik internal.  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement