Senin 09 Apr 2018 15:00 WIB
Sally Giovannyi, Pemilik Trusmi Group

Menjaga Batik Warisan Dunia

Perencanaan dan tindakan, dua hal yang tidak boleh dilepaskan dalam menjalan bisnis.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Sally Giovany Owner Batik Trusmi
Foto: Republika/Edi Yusuf
Sally Giovany Owner Batik Trusmi

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tahun Republika menggelar penganugerahan Tokoh Perubahan. Mereka yang terpilih adalah sosok- sosok yang memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan melakukan perubahan di tengah masyarakat. Berikut adalah profil mereka (bagian 4).

Kecintaan pada dunia niaga sudah melekat pada diri Sally Giovanny sejak usia muda. Jiwa dagang dari sang ayah mengalir deras dalam tubuhnya. Saat teman-teman sebayanya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan guru ataupun belajar menghadapi ujian, pemilik Trusmi Group itu malah asyik sibuk berjualan.

Baginya, pergi ke sekolah merupakan kesempatan untuk menjual jajanan kepada teman-temannya. Dengan keuntungan yang diperolehnya tersebut, dia jadi semakin jatuh cinta pada dunia dagang.

Tak hanya jajanan, perempuan kelahiran 1988 itu juga menjual berbagai aksesori, seperti tas, baju, dan sepatu, yang digemari teman-temannya. Otak dagangnya pun semakin terasah untuk terus melebarkan sayap bisnisnya. Dia akhirnya lebih fokus berjualan dibandingkan memikirkan pelajaran sekolah.

Untuk itu, selepas lulus SMA, Sally lebih berminat untuk terus berjualan dibandingkan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Apalagi, dia paham, biaya kuliah pasti akan memberatkan keuangan ibunya, yang merupakan single parent dan hanya berdagang sembako di pasar. Ditambah lagi, adik semata wayangnya juga masih membutuhkan biaya besar untuk sekolah.

Namun, Sally sadar, sebagai seorang perempuan, dia membutuhkan pendamping untuk mendukung langkahnya. Karena itu, dia memutuskan menikah setelah lulus SMA. Bukan dengan pria dewasa nan mapan, melainkan dengan teman sekolahnya, Ibnu Riyanto, yang juga sama-sama baru lulus SMA. Kala itu usia mereka sama-sama 17 tahun, dan sama-sama tak memiliki pengalaman hidup.

Banyak yang memandang pernikahan Sally-Ibnu dengan sebelah mata. Tak sedikit juga orang yang menilai pasangan itu hanya akan menjadi beban bagi keluarga karena menikah muda. Bahkan, ada pula yang memprediksi pernikahan mereka hanya akan seumur jagung. "Walau saya dan suami memutuskan untuk menikah di usia muda, tapi kami bertanggung jawab dengan keputusan kami," tutur pengusaha Muslimah itu.

Keindahan masa bulan madu setelah pernikahan pun tak diindahkan oleh pasangan Sally-Ibnu. Mereka lebih memilih tancap gas untuk memulai bisnis. Mereka ingin membuktikan, meski menikah di usia muda, tak akan membuat mereka menjadi 'benalu' dalam keluarga. Mereka ingin hidup mandiri dan berkarya.

Pasangan Sally-Ibnu pun memilih memulai bisnis mereka dengan berjualan kain kafan. Alasannya sederhana, menjual kain kafan tidak rumit karena tak membutuhkan model dan motif apa pun. Hanya sehelai kain putih yang terbuat dari bahan mori. "Pokoknya, saya hanya lakukan apa yang bisa saya lakukan saat itu. Bisanya jual kain kafan, ya saya jual kain kafan," tutur ibu dari tiga anak tersebut.

Modal untuk berjualan kain kafan itu diperoleh dari amplop pernikahan mereka. Besarannya ada sekitar Rp 17 juta. Modal itu mereka gunakan untuk membeli kain kafan dan menjualnya kembali.

Namun, kenyataan memang tak selamanya sesuai dengan harapan. Bisnis kain kafan yang mereka jalankan ternyata jalan di tempat. Pasalnya, tidak setiap hari ada orang yang meninggal dan membutuhkan kain kafan.

Ibu mertua Sally lantas menyarankan agar mereka berjualan batik. Sebab, mereka tinggal di kawasan Trusmi, yang selama ini menjadi sentra batik di Kabupaten Cirebon. Di sekitar tempat tinggal mereka pun banyak perajin batik. Saran ibu mertua kemudian mereka ikuti. "Saya menyebutnya the power of kepepet. Kepepet karena jualan kain kafan kurang laku, akhirnya kami berjualan batik," kata Sally.

Ibu mertuanya pun meminta Sally untuk belajar tentang batik terlebih dulu sebelum terjun dalam bisnis batik. Selain tentang jenis-jenis batik, bahan, motif batik berikut maknanya, harus dikuasai di luar kepala agar paham jika nanti ada yang bertanya. Namun, belajar tentang batik yang diperkirakan membutuhkan waktu sekitar satu tahun, dirasa terlalu lama bagi Sally. Karena itu, dia memutuskan untuk belajar batik sambil sekaligus langsung memulai bisnis batik.

Bisnis batiknya pun tidak langsung membuahkan hasil yang manis. Ini karena Sally menjalankan bisnis tanpa perencanaan. Padahal, perencanaan dan tindakan merupakan dua hal yang tidak boleh dilepaskan dalam menjalankan bisnis.

Batik milik Sally semula tak laku di pasaran. Hal itu karena batik yang dijualnya tidak sesuai dengan selera pasar. "Saat itu saya asal jual, tanpa perencanaan, tanpa survei terlebih dulu untuk melihat apa yang sedang disukai oleh pasar," tutur Sally.

Dari kegagalan itu, Sally belajar banyak hal. Kegagalan itu dijadikannya sebagai pelajaran. Dia dan suaminya pun terjun langsung dalam menjalankan bisnis tersebut. Dengan berbagai inovasi dan kreativitas, bisnis batiknya terus meningkat.

Keputusan UNESCO yang menetapkan batik sebagai warisan dunia pada 2009, membuat usaha batik yang dijalankan Sally semakin berkibar. Dia pun semakin mantap menjalankan bisnis dalam bidang batik. Hal itu juga dilakukannya sebagai bagian dari tanggung jawab untuk turut serta melestarikan batik.

Selama kurang lebih 12 tahun berkecimpung dalam bisnis batik, Sally kini sudah memiliki sepuluh toko batik di lima kota besar di Indonesia. Salah satu toko batiknya, yakni Toko Batik BT Batik Trusmi, di kawasan Trusmi, Kabupaten Cirebon, bahkan ditetapkan sebagai toko batik terbesar dan terluas. "Dulu kami hanya memiliki sepuluh karyawan, saat ini sudah lebih dari seribu karyawan," kata Sally.

Meski kini sudah menikmati hasil manis dari jerih payahnya, Sally tak melupakan akan kewajibannya di bidang sosial. Karena itu, dia mendirikan Yayasan Rezeki Berlimpah Berkah.

Yayasan itu, selama ini, memiliki beberapa kegiatan sosial, seperti bagi-bagi 1.000 sembako setiap bulan, memberi bantuan pada orang-orang jompo, dan membantu kaum duafa yang menderita penyakit berat, seperti kanker dan tumor. Yayasan tersebut juga memberdayakan anak-anak yatim. Seperti saat ada anak yatim yang ingin berjualan alat tulis dan butuh modal, yayasan tersebut akan memberi bantuan alat-alat tulisnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement