REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir telah memerintahkan pembebasan puluhan tahanan politik. Kantor berita pemerintah Suna melaporkan pada Selasa (10/4), tindakan ini tampaknya dimaksudkan untuk meredakan kritik internasional terkait HAM terhadap pemerintahannya.
Keputusan tersebut tampaknya merupakan konsesi Presiden Bashir yang tengah menghadapi penyelidikan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan di Darfur. Bashir berkuasa di Sudan sejak 1989 dalam sebuah kudeta terhadap pemerintah, yang didukung oleh militer.
Pada Januari, protes meletus di Sudan setelah pemerintah mengajukan anggaran baru yang akan memotong subsidi ekonomi. Hal ini kemungkinan akan membuat harga kebutuhan pokok menjadi lebih tinggi, saat dana terus dialokasikan ke dalam belanja militer. Protes yang sebagian digagas oleh partai oposisi menyebabkan penangkapan sejumlah tahanan politik.
Baca juga, Anak-Anak Jadi Korban Perkosaan di Sudan
Tahun lalu, Presiden Bashir menunjuk sekutu lamanya untuk menjabat sebagai perdana menteri. Ia mengatakan dia tidak akan kembali mencalonkan diri dalam pemilu. Namun pernyataan itu adalah janji yang pernah dia buat dan pernah ia ingkari di masa lalu.
"Dia pembohong besar, dan saya tidak berpikir dia mau menyerahkan kekuasaannya," kata Jalal Moustafa, seorang aktivis dari Sudanese Congress Party. Dia mengaku telah dipenjara dari 6 hingga 15 Januari tanpa dakwaan.
"Saya ditahan untuk mencegah kami berbicara dengan orang-orang, sehingga mereka dapat meneruskan kebijakan menyimpang mereka," kata Mustafa dalam sebuah wawancara telepon, seperti dilaporkan New York Times.
Bashir telah membebaskan sekitar 80 tahanan politik pada akhir Februari. Namun 50 lainnya tetap ditahan pada akhir pekan lalu, termasuk Mohamed Mokhtar al-Khatib, pemimpin Sudanese Communist Party.
Mustafa menambahkan, Presiden Bashir membebaskan para tahanan politik untuk mengantisipasi kunjungan yang dijadwalkan oleh para pejabat HAM PBB.
Jehanne Henry, peneliti Human Rights Watch (HRW) yang memantau ketat Sudan, mengatakan di antara mereka yang dibebaskan adalah Amjed Farid, seorang aktivis HAM; Salih Mahmoud Osman, seorang pengacara HAM; Mohieldeen Aljalad, seorang aktivis komunis; dan Dr Sidiq Kaballo, seorang ekonom.
"Kami tahu belasan dari tahanan ini adalah orang-orang tua yang memiliki berbagai masalah kondisi kesehatan," ujar Henry. Yang tertua adalah 83 tahun.
"Kami belum menerima laporan tentang adanya pemukulan dan penyiksaan, tetapi ini biasa terjadi di fasilitas penahanan keamanan nasional Sudan. Mereka diketahui sering menjebloskan tahanan di sel yang sangat dingin dengan lampu yang menyala terus-menerus. Kami telah mendokumentasikan pola tersebut selama bertahun-tahun," paparnya.
Meski dianggap penjahat internasional, pemerintah Barat telah banyak bekerja sama dengan pemerintahnya, terutama untuk melawan ekstremisme. Selain itu kerja sama juga dilakukan untuk membendung arus pengungsi Afrika ke Libya dan Mesir, yang akan menggunakan kapal menuju Eropa.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sudan telah mencapai sejumlah kesepakatan dengan Barat. Oktober lalu, pemerintahan Amerika Serikat (AS) mencabut sejumlah sanksi terhadap negara tersebut, karena kerja sama keduanya dalam kontraterorisme.
AS juga mengisyaratkan akan mempertimbangkan untuk menghapus Sudan dari daftar negara pendukung terorisme, meskipun belum melakukannya. Bulan lalu, para pejabat Uni Eropa menandatangani kesepakatan dengan Sudan untuk meningkatkan kerja sama kontraterorisme, sekali lagi dengan tujuan untuk mencabut sanksi.