Kamis 21 Apr 2022 05:37 WIB

Sistem Waris Awal Permulaan Islam

Pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi harta dari orang yang meninggal dunia.

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Harta warisan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, diterangkan bahwa pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi harta dari orang yang meninggal dunia karena keturunan, pengangkatan anak, dan sumpah setia.

Selanjutnya, ditambah lagi dengan orang yang ikut berhijrah dan dipersaudarakannya orang-orang Muhajirin (hijrah dari Makkah ke Madinah) dengan orang Anshar (yang menolong orang-orang Muhajirin).

Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah ialah jika seorang sahabat Muhajirin meninggal dunia, maka yang mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah. Sedangkan, kerabat yang tidak ikut hijrah, tidak mewarisi.

Sementara jika sahabat Muhajirin yang meninggal dunia itu tidak mempunyai kerabat yang ikut hijrah, maka sahabat dari golongan Anshar-lah yang mewarisinya. Inilah makna yang terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar dengan sahabat Muhajirin.

Pada masa itu juga diperlakukan pewarisan harta orang yang memerdekakan budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq) dengan sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakannya. Dengan catatan, sistem wala' ini tidak berlaku timbal balik.

Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara pasangan suami-istri (zaujiyah). Karenanya, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah, rahm), sebagaimana disebutkan dalam Alquran, surah al-Anfal [8]: 75.

Dengan sistem tersebut di atas, maka dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan atas sumpah setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya.

Adapun mengenai warisan atas alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam. Hal ini tertuang dalam perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW sendiri mengenai penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya (Alquran surat al-Ahzab [33]: 5, 37, dan 40).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement