REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, pihaknya sedang mengkaji adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim PTUN saat menangani gugatan PKPI. Hasil kajian tersebut nantinya juga berpotensi digunakan sebagai bahan pengajuan kembali (PK) putusan PTUN ke Mahkamah Agung (MA).
Menurutnya Hasyim, kajian tersebut dilatarbelakangi rencana KPU yang ingin melaporkan dugaan kode etik hakim PTUN kepada Komisi Yudisial (KY). KPU Sendiri sudah berkonsultasi kepada KY mengenai pelaporan itu.
"Konsultasi itu dalam rangka bagaimana kalau KPU berinisiatif melaporkan perilaku hakim yang memeriksa perkara PKPI ini seperti apa, alat bukti seperti apa, masa waktu pelaporan kapan. Kami kemungkinanbesar akan melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim PTUN atas penanganan gugatan PKPI," jelasnya di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (13/4).
Meski masih dalam tahap konsultasi, tetapi Hasyim menegaskan jika kemungkinan besar KPU akan melaporkan dugaan pelanggaran kode etik itu. Untuk memperkuat argumentasi dugaan pelanggaran, KPU mengkaji putusan PTUN yang dibacakan pada Rabu (11/4) lalu. "Supaya bisa diketahui apakah ada indikasi (pelanggaran kode etik). Jika sudah dilaporkan, maka nanti ada peluang untuk diajukannya PK," tegas Hasyim.
Namun, dia mengingatkan jika laporan pelanggaran kode etik hakim PTUN kepada KY berbeda dengan PK putusan PTUN kepada MA. Laporan kepada KY menggunakan objek perilaku hakim yang mana laporan ini tidak merubah hasil putusan PTUN.
"Sementara PK itu kan upaya hukum luar biasa yang diajukan ke MA. Salah satu syarat utamanya adalah ditemukan nya alat bukti baru. Kalau PK dikabulkan maka putusan PTUN bisa dibatalkan oleh MA," jelas Hasyim.
Maka, jika nantinya MA membatalkan putusan PTUN, PKPI berpeluang batal ikut Pemilu 2019. Hasyim menegaskan hal tersebut adalah konsekuensi hukum. Batalnya PKPI sebagai peserta pemilu juga akan diikuti oleh batalnya pencalonan calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai besutan AM Hendropriyono itu.
"Konsekuensinya demikian. Parpolnya tidak ada, Calegnya nanti siapa yang akan mengusung ? Kalau Parpolnya dibatalkan ya segala macam konsekuensi hukum ya begitu," tambahnya.