REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan serangan yang dilakukan negaranya ke Suriah merupakan respons atas penggunaan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, pekan lalu. Ia menyatakan Prancis tidak dapat menoleransi penggunaan senjata kimia.
"Saya telah memerintahkan pasukan Prancis campur tangan malam ini, sebagai bagian dari operasi internasional bersama Amerika Serikat (AS) dan Kerajaan Inggris, yang diarahkan melawan gudang senjata kimia tersembunyi milik rezim Suriah," kata Macron dalam sebuah pernyataan pada Jumat (13/4), dikutip laman New York Times.
Ia mengatakan fakta keterlibatan dan tanggung jawab Pemerintah Suriah dalam serangan gas beracun di Douma yang menewaskan sedikitnya 70 orang tak diragukan lagi. "Kami tidak dapat mentoleransi hal-hal yang meremehkan (penggunaan) senjata kimia, yang merupakan bahaya langsung bagi rakyat Suriah dan keamanan kolektif kami. Ini adalah arah dari inisiatif diplomatik yang diajukan Prancis di Dewan Keamanan PBB," ucapnya.
Macron mengungkapkan, sejak Mei 2017, terdapat tiga hal yang menjadi prioritas Prancis terkait krisis di Suriah, yaitu mengakhiri perlawanan ISIS, mengizinkan akses bantuan kemanusiaan, dan pencapaian resolusi politik. Menurutnya, ketiga hal ini dapat membawa kembali perdamaian kepada rakyat Suriah serta menciptakan stabilitas di kawasan.
Ia menegaskan akan terus berupaya mewujudkan ketiga prioritas tadi. "Saya akan mengejar prioritas ini dengan tekad pada hari-hari dan pekan-pekan mendatang," ujar Macron.
AS, Inggris, dan Prancis melancarkan serangan udara ke Homs dan Damaskus pada Sabtu (14/4). Serangan tersebut dilakukan untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas militer yang menimbun bahan-bahan kimia.
Belum ada laporan tentang jatuhnya korban jiwa akibat serangan ketiga negara. Namun fasilitas penelilitian ilmiah Suriah yang berada di Damaskus dilaporkan hancur akibat serangan tersebut.