REPUBLIKA.CO.ID, QUEBEC -- Pelaku penembakan di masjid Quebec, Kanada, Alexandre Bissonnette mengaku tindakannya dipicu oleh kebijakan pemerintah Kanada yang terus menerima pengungsi. Ia adalah bom waktu yang siap meledak.
Dilansir Edmonton Sun, Jumat (14/4) informasi tentang kehidupan Bissonnette terkuak setelah penyelidikan mendalam. Ia mengalami depresi selama bertahun-tahun yang memungkinkannya melakukan aksi di luar akal sehat.
Orang tuanya mengatakan Bissonnette adalah seorang yang suka mabuk-mabukan. Ia keluar dari universitas karena tidak mampu mengikuti pembelajaran. Ia juga tidak bisa menerima tekanan saat bekerja.
Selama berbulan-bulan ia memiliki ketakutan terhadap aksi terorisme yang mungkin terjadi di kotanya, Quebec. Pada petugas kepolisian, 14 jam setelah aksi penembakannya, ia mengaku ketakutan.
Pada hari kejadian, 29 Januari 2017, ia sedang tertekan karena harus kembali bekerja di Hema-Quebec, tempat kerjanya mengatur pasokan darah di provinsi. Dalam kekalutan itu ia minum-minum sake di rumah orang tuanya.
Sambil menonton TV, ia mendengar Kanada akan kembali menerima pengungsi yang diusir dari Amerika Serikat. "Saat melihatnya, saya marah," kata Bissonnette pada penyidik Steve Girard.
Sehari sebelumnya, Perdana Menteri Justin Trudeau mengeluarkan pernyataan di Twitter-nya Kanada menerima para pengungsi, tak peduli latar belakangnya. Saat itu, Bissonnette tidak sepakat.
Ia takut keluarganya bisa jadi korban serangan. Bissonnette kemudian keluar rumah dan menuju masjid sambil membawa senjata. "Saat itu saya yakin mereka akan datang dan membunuh orang tua, keluarga saya," kata Bissonnette.
Saat itu ia sangat yakin tentang terorisme yang bisa dilakukan Muslim. Hal tersebut menjadi alasannya melakukan sesuatu. "Itulah kenapa, saya harus melakukan sesuatu," katanya.
Ini adalah kali pertama publik mendengar motif penyerangan. Di dalam video, Bissonnette mengatakan ia menderita depresi sejak usia 14 tahun. Ia sempat mencoba bunuh diri saat berumur 16 tahun.
Pengobatan anti-depresan dilaluinya namun tidak bekerja cukup efektif. Pria 27 tahun ini mengaku tidak pernah merasa baik dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam kehidupannya.
"Saya pikir obat akan memperbaiki masalah, tapi tidak, ia hanya membuat keadaan lebih buruk," katanya.
Saat awal interogasi, Bissonnette sulit membuka diri. Polisi kemudian memancingnya dengan berbagai topik pembicaraan.
Mulai dari kehidupan pribadi, pemerintahan, hingga aksi terorisme. Ia kemudian mulai mengakui terobsesi dengan aksi terorisme. Dengan menyerang masjid Quebec, ia yakin bisa menyelamatkan ratusan orang.
"Mungkin 200 atau 300 orang bisa selamat, kita tidak pernah tahu," katanya.
Ia sempat tidak percaya apa yang dilakukannya. Setelah insiden, ia menelepon 911 dan bertanya-tanya pada petugas tentang apa yang diperbuatnya.
Ia menanyakan apakah ada yang terluka dalam aksi penembakannya. Bissonnette terdengar frustasi dan segera ingin mengakhiri kejadian itu. Insiden berlangsung selama dua menit dan ia mengaku tidak ingat detail aksi yang dilakukannya.
Ia tidak bisa mengingat saat masuk ke masjid dan menembak enam orang. Saat itu ia menembak secara acak. Pada penyidik ia mengaku mengeluarkan 10 tembakan. Jaksa mengoreksi sebenarnya ia menembakkan 48 peluru.
Setelah insiden, Bissonnette berniat bunuh diri tapi mengurungkan niat dan menelepon 911. Sekitar 10 menit, petugas menjaganya tetap sadar hingga kepolisian menemukan dan mengamankannya.
Pembacaan putusan akan dilanjutkan pada Senin. Akan ada bukti lanjutan yang dibuka pada publik, termasuk evaluasi dari psikiater. Ia bisa menghadapi hukuman penjara seumur hidup tanpa banding selama 150 tahun.