Ahad 15 Apr 2018 10:46 WIB

Dipasena Dinilai Layak Masuk Proyek Strategis Nasional

Indonesia seharusnya menjadi produsen dan eksportir udang budidaya terbesar di dunia.

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad
Bumi Dipasena di era kejayaannya.
Foto: Istimewa.
Bumi Dipasena di era kejayaannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mendukung rekomendasi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) untuk membangkitkan kembali pertambakan udang Dipasena di Lampung dengan menempatkannya sebagai proyek strategis nasional (PSN). Namun, dia mengingatkan, pengelolaan pertambakan udang terbesar di dunia itu haruslah tetap secara murni bisnis yang modern, berkelanjutan, dan tetap ditangani oleh swasta.

Usai rapat revitalisasi tambak udang rakyat Bumi Dipasena di Kemenko Perekonomian, Jakarta, beberapa waktu lalu, anggota KEIN M Najikh menyatakan, dalam waktu dekat KEIN akan meminta Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan kawasan Bumi Dipasena sebagai proyek strategis nasional dengan menempatkannya di bawah presiden. Ini “Karena semua tahu sebenarnya tambak udang Vaname terbesar di dunia dulunya di Dipasena,” ujar Najikh.

Menurut Bungaran, keterlibatan pemerintah dalam revitalisasi atau rehabilitasi pertambakan Dipasena sebaiknya dalam hal investasi infrastrukur. “Memang itu merupakan kewajiban pemerintah, tapi pengelolaannya haruslah tetap secara bisnis swasta,” ujar mantan menteri pertanian tersebut di Jakarta, Sabtu (14/4). 

Kalau pun pemerintah ikut serta dalam pengelolaannya, Bungaran melanjutkan, maka itu harus diwakili oleh BUMN. Dengan demikian, joint venture dilakukan antara swasta dengan BUMN bidang perikanan. “Tapi ingat, harus tetap melibatkan langsung petambak rakyat setempat. Modelnya adalah seperti yang dahulu pernah dilaksanakan di saat kejayaan Dipasena.”

Bungaran menyayangkan pertambakan Dipesena sekarang hanya menjadi pertambakan yang tradisional. Padahal, pada masa kejayaannya, yakni antara 1985-1998,  Dipasena pernah menghasilkan 2.000 ton udang per bulan dan mengekspor 20 ribu ton per tahun. Bahkan, pada 1995/1996 ekspornya pernah mencapai rekor 25 ribu ton yang menjadikannya sebagai eksportir terbesar di dunia.  “Itu menghasilkan devisa 300 juta dolar AS per tahun.”

Guru besar IPB itu mengingatkan, untuk membangkitkan kembali kejayaan pertambakan udang Dipasena, para pihak harus melihat ide dasar yang diemban keluarga Sjamsul Nursalim yang terpanggil untuk menggali sumber daya alam kampung halamannya dengan melibatkan langsung rakyat petambak dan telah terbukti berhasil mengembangkan agribisnis udang terbesar di dunia.

“Dia bukan semata mengembangkan bisnis. Tapi, care to the people seraya care to the environment,” kata Bungaran Saragih.

Bungaran melanjutkan, mungkin saja saat itu, Sjamsu Nursalim belum mengetahui istilah 3P alias three bottom line, people, planet, profit, yakni tiga pegangan berbisnis yang dipraktikkan sekarang ini. Praktik bisnis saat ini memang harus menciptakan keserasian antara mengejar keuntungan finansial, mengikutsertakan rakyat, dan menjaga lingkungan. Akan tetapi, kata Bungaran, Sjamsul Nursalim telah menerapkan paradigma itu jauh sejak dulu. “Itu yang dulu dijalankan oleh Sjamsul Nursalim,” ujar Bungaran yang mengaku tidak kenal secara pribadi dengan Sjamsul Nursalim dan belum pernah sekali pun bertemu dengannya atau dengan istrinya, Itjih Nursalim.

Pertambakan udang Dipasena berada dalam kawasan terpadu seluas 98 ribu hektare di Lampung yang terapit antara sungai Mesuji dan sungai Tulang Bawang dengan pantai berhutan bakau sepanjang 75 kilometer.  Kawasan pertambakan Bumi Dipasena meliputi luas 24 ribu hektare di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Di dalamnya terdapat jaringan kanal sepanjang 1.300 kilometer, pembangkit listrik 200 Megawatt, pabrik pakan, 180 kolam penelitian (R&D), hatchery benur, serta Kota Mandiri berpenduduk 100 ribu jiwa, yakni keluarga dari 12 ribu lebih petambak dan 14.780 karyawan. Dipasena juga dilengkapi sekolah sampai tingkat akademi dan 14 poliklinik serta rumah rumah ibadah.

Menurut Bungaran, apabila nantinya Dipasena dibangkitkan kembali, siapa pun yang akan mengelolanya sudah tidak usah mencari metode atau pendekatan lain. Model yang dijalankan oleh keluarga Sjamsul Nursalim dipandang sudah tepat. Keberhasilannya pun bisa menjadi contoh dalam menjalankan agribisnis berkelanjutan. Ia khawatir, kalau mencoba memakai cara lain justru malah berpotensi gagal.

“Kalau kegiatan entity itu berakhir, itu bukan kesalahan Sjamsul Nursalim. Kesalahannya terletak pada musibah di makro ekonomi, terutama oleh krisis melonjaknya dengan drastis nilai dolar AS,” kata Bungaran.

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi tambak udang di hutan bakau Muara Gembong, Bekasi, 1 November 2017 menyatakan udang menjadi komoditi ekspor sangat besar. “Kita sekarang nomor tiga. Kalau tambak tambak di Lampung, di Pulau Jawa, serta di  Kalimantan Utara berjalan, kita bisa menjadi nomor satu. Asalkan dijalankan dengan cara cara modern,” ujar Jokowi.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia dengan garis pantai 95.185 kilometer atau terpanjang kedua di dunia memiliki potensi lahan pesisir untuk tambak udang 3 juta hektare atau terluas di dunia. “Indonesia seharusnya menjadi produsen dan eksportir udang budidaya terbesar di dunia,” kata Rokhmin yang juga mantan menteri perikanan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement