REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rapor Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra memutuskan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 beberapa waktu lalu. Namun ada yang aneh dan menggelitik nalar politik terhadap fenomena politik ini.
Pasalnya, pendukung, relawan dan partai-partai pendukung Presiden Joko Widodo seolah bersorak sorai bergembira mengetahui lawan Jokowi adalah Prabowo di pilpres tahun depan. Ada apa?
“Pertanyaannya sederhana siapa yang senang ketika Prabowo menerima mandat dari kader Gerindra sebagai capres. Kita lihat saja siapa yang riang gembira dan bertepuk tangan. Ternyata yang senang adalah ‘geng’ Jokowi bukan koalisinya Prabowo,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago dalam rilisnya, Sabtu (14/4).
Pangi menilai ada upaya dari kubu Jokowi agar Pilpres dimenangkan secara mudah, yakni dengan mengajak Prabowo berlaga kembali. Nampaknya skenario ‘geng’ Jokowi akan berhasil.
Salah satu indikasinya adalah langkah Luhut Binsar Pandjaitan yang kabarnya meminta Prabowo maju sebagai capres. Kalau Prabowo maju, maka mungkin ada deal lain atau bonus yang diperoleh Prabowo.
Seharusnya, Prabowo harus belajar banyak dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang selalu kalah saat maju sebagai capres. Kemudian Megawati lebih memilih menahan diri dan merelakan PDIP untuk mengusung Jokowi sebagai presiden di Pilpres 2014.
Menurutnya hal ini karena masyarakat juga sudah jenuh terhadap Prabowo dan elektabilitas Prabowo sudah klimaks jenuh. Ibarat film, Prabowo adalah film lama, sudah usang dan tidak menarik lagi ditonton.
“Padahal masyarakat ingin pertarungan aktor baru sehingga film menjadi menarik," tegasnya.
Ketakutan ‘geng’ Jokowi justru apabila Gatot maju dan Prabowo menjadi king makernya. Karena saat ini adalah momentum emas untuk Gatot dengan pertumbuhan elaktabilitasnya yang masih terus menanjak.
“Jika dibandingkan dengan Prabowo yang digadang-gadang akan maju dalam pilpres 2019 nanti, nama Gatot bisa dikatakan bisa menjadi penantang tangguh Jokowi,” jelasnya.
Mengenai adanya dugaan jika Prabowo tidak maju maka akan menenggelamkan Gerindra, hal ini perlu diuji kembali. Hal ini seperti teori lokomotif effect dalam upaya menyelamatkan Gerindra.
Akan tetapi, jalan tengahnya bisa saja dengan mengkaderkan atau menggerindrakan Gatot dan Anies Baswedan sebagai capres atau cawapres justru kemungkinan bisa menyelamatkan elektabilitas Gerindra menjadi lebih besar.
“Karena ketika Anies ditarik jadi capres atau cawapres, ada keuntungan lain yang diperoleh Prabowo dan Gerindra yaitu Sandiaga sebagai kader Gerindra akan naik menjadi Gubernur DKI,” paparnya.
Karena Prabowo pernah berhasil meracik pasangan Joko Widodo-Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dan Anies-Sandi yang kemudian menjadi pemenang di Pilkada DKI. Maka itu, Prabowo sebenarnya lebih piawai atau ahli dalam memilih calon pemimpin dan mengantarkannya pada kemenangan ketimbang dirinya maju sebagai kontestan di pilpres.
“Sudah saatnya Prabowo realistis, momentum beliau yang sudah lewat dan ayo kembali menghitung serta mengkalkulasi secara matematika politik sehingga tidak salah hitung. Prabowo bisa memberikan kejutan untuk meruntuhkan skenario ‘geng’ Jokowi,” ungkapnya.