REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Setiap perang memiliki dampak ekonomi. Meningkatnya konflik di Suriah yang melibatkan kekuatan regional maupun global akan mempunyai konsekuensi luas terutama untuk harga minyak.
Konflik Suriah telah membuat sejumlah analis pasar komoditas menilai bagaimana harga minyak, gas, alumunium, dan komoditas lainnya terpengaruh terhadap ketegangan geopolitik. Kenaikan harga minyak pekan ini kemungkinan terkait dengan meningkatkan risiko perang regional yang lebih luas, yang berpusat di Suriah.
Administrasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sedang mengevaluasi kemungkinan serangan udara terhadap target pemerintah Suriah. Sementara itu, para pemimpin Jerman telah menyatakan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi dalam aksi militer.
Para pengamat menyatakan, selama beberapa tahun ke depan harga minyak kemungkinan tidak akan naik di atas 65 dolar AS. Insentif keuangan ditempatan pada ekspansi besar-besaran termasuk pengeboran oil-shale di AS, dengan konsekuensi akan terjadi kelebihan pasokan minyak.
Pengamat perminyakan, Jim Williams dari WTGR Economics mengatakan, naik turunnya harga minyak merupakan konsekuensi dari kondisi geopolitik seperti perang maupun revolusi. Hal ini dapat menganggu produksi minyak dari negara pemasok utama seperti Arab Saudi, Iran, Rusia, Venezuela, Irak, dan Kuwait.
Adapun menurut Williams, perubahan rezim di negara-negara kaya minyak dapat memiliki dampak jangka panjang yang tidak baik. Dia mencontohkan, Libya merupakan negara kaya minyak yang mengalami perubahan rezim pemerintahan. Amerika Serikat (AS) sebagai Negara Adikuasa disebut memiliki andil untuk melemahkan ekonomi Rusia dan Iran, di bawah istilah Strategi Pertahanan Nasional 2018.
Dalam konteks tersebut, instrumen kuncinya adalah undang-undang AS yang disahkan pada 2017 oleh Kongres yang didominasi Republik. Instrumen tersebut yakni Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAASTA).