REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengutip laman Wikipedia, secara keseluruhan penduduk Muslim di Yunani berasal dari latar belakang etnis, bahasa, dan sosial yang berbeda. Mereka berasal dari etnis Turki, Pomaks, Roma, dan Muslim Yunani yang memeluk Islam, terutama pada abad ke-17 dan 18 Masehi.
Penduduk Muslim di Yunani mengalami penurunan dalam jumlah besar karena adanya perjanjian penukaran penduduk pada 1923 yang disebut Perjanjian Lausanne antara Yunani dan Turki. Perjanjian ini mengharuskan Muslim yang tinggal di Yunani harus pindah ke Turki.
Demikian pula sebaliknya, orang Kristen yang ada di Turki harus pindah ke Yunani. Namun, Muslim yang ada di wilayah Thrace dan Kristen Istanbul yang ada di Kepulauan Imvros dan Tenedos tak masuk dalam pertukaran yang disebutkan dalam perjanjian itu.
Ada pula pendatang Muslim yang masuk dan kemudian tinggal di Yunani. Pendatang atau imigran Muslim pertama yang beragama Islam kebanyakan dari Palestina. Mereka tiba pada 1970-an di wilayah utama Yunani, yaitu Athena dan Thessaloniki. Sejak 1990, jumlah imigran Muslim yang datang ke Yunani meningkat. Sebanyak 50 persen berasal dari Albania, sedangkan sisanya imigran yang datang dari negara-negara Timur Tengah, Pakistan, India, dan Bangladesh
Tempat ibadah
Konstitusi Yunani menjamin kebebasan mutlak dalam beragama. Konstitusi tersebut juga menyatakan bahwa setiap orang yang tinggal di wilayah Yunani akan menikmati perlindungan penuh akan kepercayaan mereka. Dalam kenyataannya, Muslim Yunani justru menjadi komunitas yang termarginalkan dan kerap diabaikan oleh pemerintah.
Sikap abai dan marginalisasi Pemerintah Yunani terhadap komunitas Muslim telah menciptakan ‘ledakan’ di negara kecil di kawasan Mediterania tersebut. Menurut Kepala Persatuan Muslim Yunani, Naim El-Gadour, kondisi tersebut seperti bom waktu.
Itu mungkin tidak akan benar-benar meledak sekarang, namun sepuluh tahun mendatang akan menjadi masalah besar, ujar El-Gadour seperti yang dilansir oleh Agence France Presse (AFP) pada 26 Mei 2009.
Kemarahan dan ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat Muslim Yunani dipicu oleh janji-janji berulang yang diberikan pemerintah untuk membangun masjid dan pemakaman khusus Muslim. Sepuluh ribu Muslim yang bermukim di Athena dipaksa beribadah di sekitar 130 ruang-ruang bawah tanah tanpa udara dan jendela atau gudang-gudang yang telah disulap menjadi masjid.
Athena memang menjadi satu-satunya ibu kota negara Uni Eropa yang tidak memiliki tempat ibadah umat Muslim. Kondisi tersebut memaksa Muslim di Kota Athena harus menempuh perjalanan ke Thrace yang berjarak 700 kilometer dari Athena hanya untuk menggelar acara pernikahan, pemakaman, atau upacara keagamaan lainnya. Thrace merupakan wilayah di utara Yunani yang dihuni oleh minoritas Turki yang berjumlah 120 ribu orang.
Tidak ada masjid, tidak ada pemakaman, ujar Abu Mahmoud, warga Muslim Yunani berkebangsaan Maroko yang telah tinggal di sana sejak 1985.
Pembangunan sebuah masjid di Athena memang bukan merupakan sesuatu yang populer setelah berakhirnya kekuasaan Turki Usmani (Ottoman) akibat pemberontakan yang berkepanjangan pada 1833. Saat itu, wilayah kekuasaannya sampai ke Yunani. Setelah keruntuhan kekuasaan Ottoman, penduduk Yunani yang berjumlah sekitar 11 juta orang, sebanyak 97 persen penduduk asli Yunani kemudian dibaptis menjadi Kristen Ortodoks.
Kesulitan pendirian masjid memang telah lama dirasakan umat Islam di Athena. Bahkan, kelompok pembela HAM internasional, termasuk AS, dalam laporan departemen luar negerinya pada 2005 mengkritik Pemerintah Yunani yang dianggap gagal menyediakan bangunan masjid bagi Muslim di Athena.