REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May mendapatkan kritik tajam setelah memutuskan untuk ikut menyerang Suriah tanpa adanya persetujuan dari parlemen Inggris. Pada Senin (16/4), May akan membuat pernyataan kepada parlemen mengenai keputusannya untuk bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dan Prancis dalam serangan itu.
May diperkirakan akan kembali menegaskan pernyataannya yang telah disampaikan dalam sebuah pidato pada Sabtu (14/4) lalu. Menurutnya, Inggris yakin rezim Suriah bertanggung jawab dibalik serangan kimia yang terjadi di Douma, wilayah Ghouta timur, beberapa waktu lalu.
"Inggris tidak bisa menunggu lagi untuk bisa segera meringankan penderitaan kemanusiaan lebih lanjut yang disebabkan oleh serangan senjata kimia itu," ujar May saat itu.
Sebagian besar kritik tajam atas keputusannya itu berasal dari anggota parlemen oposisi. Namun May juga tampaknya harus bekerja keras untuk membela keputusannya dihadapan anggota Partai Konservatifnya sendiri.
Jeremy Corbyn, pemimpin Partai Buruh yang menjadi oposisi utama di parlemen, telah mempertanyakan dasar hukum dari keterlibatan Inggris dalam serangan ke Suriah.
"Dia seharusnya memanggil parlemen pekan lalu ... atau dia bisa menunda sampai besok, ketika parlemen kembali. Saya pikir apa yang kita butuhkan di negara ini adalah sesuatu yang lebih kuat, seperti War Powers Act, sehingga pemerintah bisa dipastikan oleh parlemen untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan atas nama kami," katanya kepada BBC, Ahad (15/4)
Inggris mengatakan tidak ada rencana untuk kembali menyerang Suriah di masa depan. Akan tetapi Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson memperingatkan Presiden Suriah Bashar al-Assad bahwa semua opsi akan dipertimbangkan jika senjata kimia digunakan lagi di Suriah.
Dorongan Corbyn untuk membatasi kekuasaan pemerintah dalam meluncurkan aksi militer di masa depan, mungkin akan memenangkan banyak dukungan di parlemen. Beberapa anggota Partai Konservatif juga telah menyatakan kekhawatiran serangan Inggris akan memicu peningkatan eskalasi di Suriah.
Meskipun telah memenangkan dukungan internasional, May memiliki posisi yang tidak menentu di parlemen setelah kehilangan mayoritas suara Konservatif dalam pemilihan yang buruk pada Juni lalu. Dia sekarang bergantung pada dukungan dari sebuah partai kecil Irlandia Utara, yang telah mendukung serangan Inggris di Suriah, dan telah berusaha menghindari suara yang mungkin tidak menghalanginya.
Pendahulunya, David Cameron, kehilangan banyak suara setelah memutuskan untuk melakukan serangan udara terhadap pasukan Assad pada 2013. Banyak pihak di Inggris waspada akan adanya konflik lain, terutama setelah penyelidikan menyimpulkan keputusan perdana menteri Tony Blair untuk bergabung dengan perang pimpinan AS pada 2003 melawan Irak, didasarkan pada hasil penyelidikan yang cacat.
May juga akan mengajukan permohonan debat darurat untuk memberi para anggota parlemen kesempatan untuk membahas tindakan militer Inggris. James Cleverly, wakil ketua Partai Konservatif, menuturkan bahkan jika May menunggu keputusan parlemen, dia tidak bisa menghadirkan anggota parlemen karena sensitivitasnya.
"Saya pikir benar-benar tepat bagi perdana menteri dan kabinet untuk membuat keputusan ini. Dia akan datang ke House of Commons dan akan ditanyai oleh anggota parlemen yang meneliti perannya sebagai perdana menteri, dan ini adalah bentuk jalinan hubungan yang tepat antara pemerintah, di satu sisi, dan parlemen, di sisi lain," jelasnya.