REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN -- Salah satu ciri peradaban Islam Indonesia adalah ajaran-ajaran Islam selama ini selalu dapat berjalan selaras dengan derap modernitas. Ulama, juru dakwah, intelektual, akademisi, dan para politisi Muslim senantiasa berusaha mengembangkan pemahaman dan praktik Islam yang mendorong kemajuan bangsa.
“Hasil dari usaha keras itu adalah berdirinya berbagai lembaga sosial keagamaan, pendidikan, pesantren, organisasi masyarakat, dan partai-partai politik yang berada di bawah payung Islam. Semuanya itu bekerja dengan tujuan mengejar ketertinggalan dan menuju kemajuan,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat tampil menjadi pembicara kunci sekaligus membuka resmi International Conference on Islamic Studies (ICONICS) Tahun 2018 dengan tema "Islamic Civilization in The Digital Age" di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Senin (16/4).
Lebih penting dari itu, ujar Lukman, adalah upaya-upaya dari semua elemen Muslim itu tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan orang-orang Islam, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. “Dalam konteks ini, kelas menengah Muslim Indonesia merupakan ujung tombak yang mengakselerasi modernisasi bangsa secara keseluruhan,” ucapnya.
“Dalam konteks akademik, perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam yang sedemikian kaya dan beragam tersebut telah mendorong lahir dan tumbuhnya minat para sarjana yang mengkhususkan diri pada bidang kajian Islam (Islamic studies),” katanya menambahkan.
Akan tetapi, kata Lukman, terlepas dari fakta bahwa Indonesia adalah tuan rumah bagi 25 persen dari keseluruhan populasi Muslim sedunia, kajian-kajian akademik para sarjana internasional tentang Islam sesungguhnya masih kurang mempertimbangkan Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya, sebagai salah satu wilayah yang memiliki peradaban Islam tinggi.
“Dalam konteks kajian Islam, wilayah ini umumnya masih dianggap sebagai pinggiran (peripheral) dari lanskap dunia Islam secara keseluruhan,” ujarnya.
Padahal, kata Menag, perkembangan Islam Indonesia telah menghasilkan jenis pemahaman keagamaan yang khas jika dibandingkan dengan mainstream di Timur Tengah. Menurut dia, seharusnya keunikan ini diterima sebagai kekayaan khazanah Islam.
“Namun sayangnya, justru karena berbeda maka Islam Indonesia sering dipandang kurang murni, kurang Islami, asing, dan akhirnya tidak diperhitungkan sebagai Islam yang sebenarnya,” tuturnya.
Menag mengatakan, cara pandang di atas berakar pada pemahaman Islam yang monolitik, yang menganggap agama sebagai sesuatu yang mapan, pasti, dan tidak berubah-ubah. Padahal, lanjut Menag, jika dilihat dari perspektif kultural, Islam Indonesia merupakan contoh keberagamaan kreatif, dinamis, dan fleksibel yang selalu memperhitungkan perkembangan masyarakat, termasuk saat ini perkembangan masyarakat digital, dengan aktor-aktornya dari kalangan generasi milenial.
Ia menjelaskan, sejumlah Department of Islamic Studies di kampus-kampus di Amerika, Eropa, dan bahkan juga Asia seperti Jepang, misalnya, masih mengandalkan kajian-kajian peradaban Islam Arab, Persia, Turki, dan Afrika.
“Sementara, terkait peradaban Islam Indonesia, perhatian dan minat kajiannya masih sangat minim, literatur-literatur primer Islam dalam bahasa Melayu, Jawa, dan lainnya, yang sesungguhnya sangat kaya pun nyaris tidak dikenal di kebanyakan kampus yang menyelenggarakan Islamic studies tersebut,” ucapnya.
Padahal, Menag menambahkan, sejak berabad-abad lalu, Islam telah tersebar dengan luas dan damai di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, serta melahirkan kebudayaan Islam di bidang politik, ekonomi, dan sosial keagamaan melalui kesultanan-kesultanan.
Menurut dia, Islam Indonesia telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam pesantren yang sangat khas, baik pesantren tradisional maupun modern. Selain itu, Islam Indonesia juga melahirkan sistem pengelolaan sekolah dan madrasah yang dapat beradaptasi dengan perubahan zaman, serta memberikan contoh-contoh pengelolaan lembaga-lembaga filantropis yang tidak hanya berorientasi pada ummat, tetapi lebih dari itu pada kemanusiaan.
Selama berabad-abad pula, para sarjana Muslim Indonesia telah mulai menerjemahkan teks-teks tafsir, hadis, fikih, tasawuf, dan lainnya dari bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa lokal. Melalui proses transmisi, reproduksi, penerjemahan, dan kontekstualisasi tersebut, teks-teks yang mencerminkan peradaban Islam Indonesia ini telah membentuk pengetahuan keagamaan yang memiliki otoritas tinggi dalam membentuk sikap dan perilaku keagamaan masyarakat Muslim di wilayah ini yang cenderung lebih moderat dibanding sikap dan keberagamaan Muslim di wilayah-wilayah Arab.
Dalam konteks itulah, Menag berharap, International Conference on Islamic Studies (ICONICS) 2018 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini menjadi sangat penting dalam rangka pengarusutamaan kajian peradaban Islam Indonesia dalam konteks komunitas akademik global. Selain itu, kegiatan ini juga dalam rangka menawarkan solusi alternatif terhadap penguatan kajian peradaban Islam kepada masyarakat milenial.