REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun mengungkapkan PKS bisa saja keluar dari koalisi yang telah dijalin bersama Partai Gerindra. Menurutnya, faktor yang betul-betul menjadi penentunya yakni bila elektoral PKS tak kunjung naik meski berkoalisi bersama Gerindra.
"Mungkin terjadi (PKS cabut dari koalisi) bila dievalusi dalam waktu yang lama, lalu elektabilitas Prabowo enggak naik, dan keuntungan elektoral untuk PKS juga tidak ada. Dalam kondisi ini, mungkin salah satu langkah yang bijak adalah mengevaluasi koalisi," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (17/4).
Selain itu, menurut Rico, ada beberapa pertimbangan bisa membuat PKS keluar dari koalisi bersama Gerindra. Di antaranya, tidak ada kader mereka yang maju dalam kontestasi Pilpres 2019, baik capres ataupun cawapres karena kadernya tidak terakomodasi untuk ikut dalam Pilpres, bukan tak mungkin PKS mencari poros lain.
"Pertimbangan untuk membentuk poros tersendiri dengan Demokrat yang sampai saat ini belum menentukan sikap, PAN atau PKB, menjadi pilihan yang sangat terbuka. Kalau itu terjadi justru Gerindra yang akan sendirian," kata dia.
Rico menilai, PKS seharusnya bersikap setara dengan Partai Gerindra dan tidak menjadi subordinat dari partai yang didirikan oleh Prabowo Subianto itu. "Artinya jika memang ternyata ada pertimbangan yang lebih baik, apakah itu membentuk poros tersendiri, mungkin itu bijak untuk dlakukan PKS," tutur dia.
Kendati demikian, Rico mengakui, terlalu dini jika menilai elektabilitas Prabowo menurun. Sebab menurutnya, hasil survei itu bersifat dinamis dan akan terus memperlihatkan perubahan. Karena itu, ia menilai masih ada peluang bagi Prabowo untuk menaikkan elektabilitasnya.
Survei terbaru Median terkait elektabilitas kandidat capres dan cawapres 2019-2024, mencatat bahwa elektabilitas capres Joko Widodo (Jokowi) mengalami kenaikan dari 35,0 persen pada bulan Februari 2018, kini menjadi 36,2 persen pada April 2018. Sementara Prabowo Subianto mengalami penurunan elektabilitas dari 21,2 persen menjadi 20,4 persen pada April 2018.