REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, Prancis berkomitmen terhadap kesetaraan gender. Selain itu, ia mengatakan, debat tentang jilbab adalah bagian dari pertempuran yang tengah berlangsung melawan penindasan pada perempuan.
Kendati mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perempuan yang mengenakan jilbab, ia tetap menoleransi penggunaan penutup kepala yang merupakan kewajiban wanita Muslim tersebut. Pernyataan itu diungkapkannya kepada wartawan veteran Edwy Plenel dari situs investigatif Mediapart dan Jean-Jacques Bourdin dari radio RMC dalam wawancara televisi keduanya dalam waktu kurang dari sepekan.
"Saya tidak terlalu senang beberapa wanita Muslim memilih mengenakan jilbab ketika keluar di depan umum, tapi itu harus ditoleransi," kata Macron, dilansir di Express, Selasa (17/4).
Prancis menganut sekulerisme yang ketat dan unik, yakni filosofi laicite, yang dirancang untuk menjauhkan agama dari kehidupan publik. Meski demikian, Macron mengabaikan larangan jilbab di tempat umum.
Sebelumnya, penggunaan jilbab di Prancis dilarang di sekolah-sekolah negeri sejak 2004. Wanita Muslim dilarang mengenakan burqa (penutup wajah) di tempat umum sejak 2011.
"Saya menghormati wanita berjilbab, tetapi saya ingin memastikan mereka mengenakan kerudung dan jilbab atas pilihan pribadi," katanya, sebelum menambahkan bahwa tidak ada jawaban tegas terhadap jilbab dan cadar dalam Islam.
Macron mengatakan, wanita berjilbab membuat orang merasa tidak nyaman karena dinilai tidak sesuai dengan peradaban masyarakat Prancis. Ia juga mengatakan, jilbab sangat berbeda dan tidak sejalan dengan upaya Prancis mempromosikan hak-hak wanita dan kesetaraan gender.
Menurut dia, Prancis berkomitmen kesetaraan antara pria dan wanita. Namun, ia mengakui Prancis harus berbuat lebih banyak untuk menjelaskan dan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender.
"Namun, melarang jilbab bagi Muslim di tempat umum akan menjadi kontraproduktif. Negara Prancis adalah sekuler, tapi masyarakat Prancis tidak dan perempuan Muslim harus diizinkan memakai apa yang mereka inginkan," ujarnya.
Ia mengatakan, dirinya hanya ingin memastikan tidak ada wanita yang terpaksa mengenakan jilbab. Menurut dia, itu adalah sebuah pertarungan emansipasi.
Pria berusia 40 tahun ini juga bertekad tanpa kompromi dalam melawan radikalisme, yang disamakannya dengan penyakit infeksi seperti lepra yang menular dan menggerogoti masyarakat. Macron mengatakan, Prancis harus menenangkan hubungan antara agama dan masyarakat agar tetap bersatu.
"Kita juga harus memastikan orang-orang memahami radikal bukanlah Islam. Radikalisasi pemuda Prancis adalah salah satu dari tantangan terbesar pemerintah," ujarnya.