REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai politikus yang loncat pagar atau berpindah partai politik hanya berorientasi pada kekuasaan. Meskipun lazim terjadi dalam perpolitikan di Indonesia, kata Adi, bukan berarti perilaku seperti itu bisa dianggap angin lalu karena hal itu menunjukkan lemahnya kaderisasi di tubuh partai politik.
"Kader yang loncat itu merupakan contoh buruk karena hanya berorientasi pada kekuasaan. Partai yang menerima politikus itu juga memperlihatkan bahwa mereka tidak bisa menghadirkan kader sendiri," katanya, Selasa (17/4).
Menurut dia fenomena politikus kutu loncat menjadi kabar buruk bagi rekrutmen elit partai politik sekaligus elit nasional. "Itu artinya, parpol gagal menginjeksi ideologi sehingga parpol hanya dianggap sebagai alat mendapat kekuasaan semata. Bukan dimaknai sebagai instrumen mengabdi pada rakyat dan kebaikan," katanya.
Alasan berpindah partai memang bisa beragam. Namun, menurut Adi, kebanyakan, diakui atau tidak diakui, lebih demi kepentingan pribadi. "Biasanya mereka mencari alasan pembenaran atas manuver yang dilakukan. Tinggal masyarakat yang menilai," katanya.
Menurut dia politikus pindah partai lebih disebabkan tidak lagi mendapat posisi strategis di partai lama atau mendapat tawaran posisi yang lebih baik di partai baru. Selain itu, bisa juga untuk mencuri perhatian masyarakat karena namanya telah tenggelam.
Di Indonesia, politikus pindah partai masih menjadi perhatian media massa untuk diberitakan. "Nama mereka yang sebelumnya tenggelam pun seakan mendapatkan momennya kembali saat mereka pindah partai. Tampaknya, manuver pindah partai mereka lakukan sebagai cara mudah untuk mendapatkan perhatian publik," katanya.
Menurut Adi, kepindahan politikus memang berpengaruh bagi partai yang ditinggalkan karena pemilih loyal pasti akan ikut juga. "Tapi tidak signifikan," kata dosen ilmu politik pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga peneliti pada The Political Literacy Institute itu.
Menjelang Pemilu 2019, sejumlah politikus memilih pindah partai sebagai kendaraan baru, di antaranya Priyo Budi Santoso yang pindah dari Partai Golkar ke Partai Garuda dan Ahmad Yani dari PPP ke PBB.