REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sertifikat halal memang belum menjadi standar yang perlu dipenuhi setiap produsen, terutama bidang farmasi. Namun sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, sertifikasi halal tentu dapat menjadi sebuah kebutuhan demi terjaminnya keamanan umat Muslim dalam mengonsumsi suatu makanan atau obat-obatan.
Meski begitu, sejatinya pemerintah telah mencanangkan sertifikasi halal ini sejak 2014 silam dengan merumuskan Undang Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal (RPP JPH), dengan mengerahkan pihak dari MUI, Kementerian Agama, dan Kementrian Kesehatan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama Nur Syam menjelaskan, saat ini Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menggelar beberapa pertemuan guna membahas RPP JPH. Adapun pembahasan yang didiskusikan terkait tiga hal, yaitu penerapan jaminan sertifikasi produk halal pasca 2019, penerapan label halal dan tidak halal, serta sertfikat halal untuk alat-alat kesehatan dan produk farmasi.
"Ketiganya sudah kami diskusikan dan Alhamdulillah para kementerian juga sudah menyatakan setuju tentang bagaimana sertifikasi halal pasca 2019, label halal produk dan mengenai obat, alat kesehatan dan produk biologi juga sudah disepakati," kata Nur Syam saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/4).
Nur menjelaskan, sebelumnya Kemenag dan Kemenkes juga telah melakukan silahturahim dan menghasilkan kesepakatan yang menurut dia akan segera disampaikan ke Sekretariat Negara dan Presiden RI, pekan depan.
Meski begitu, lanjut Nur, jika terdapat beberapa poin yang perlu didiskusikan kembali, maka kemungkinan diskusi akan digelar kembali dengan mengundang beberapa pihak terkait. "Tapi kalau harapan saya, karena finalnya sudah cukup bagus kemungkinan pekan depan sudah bisa diterima oleh Pak Presiden," kata dia.
Menurut Nur, sebelumnya terdapat beberapa subtansi RPP JPH yang bertentangan dengan UU JPH, yaitu meniadakan sertifikat halal untuk obat. Namun, Nur menjelaskan bahwa hal ini telah terselesaikan karena bertentangan dengan UUD Sertifikasi. "Secara substansial sudah tidak ada masalah. Kami harap pasca 2019 ini sudah bisa direalisasikan," jelas dia.
Namun demikian, lanjut Nur, jika tahun depan belum terwujud, mengingat masih banyak perusahaan yang menggunakan bahan atau proses yang tidak halal, maka akan dilakukan upaya agar obat yang belum halal dapat segera terverifikasi.