REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sertifikat halal memang belum menjadi standar yang perlu dipenuhi setiap produsen, terutama bidang farmasi. Namun sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, sertifikasi halal tentu dapat menjadi sebuah kebutuhan demi terjaminnya keamanan umat Muslim dalam mengonsumsi suatu makanan atau obat-obatan.
Meski begitu, sejatinya pemerintah telah mencanangkan sertifikasi halal ini sejak 2014 silam dengan merumuskan Undang Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal (RPP JPH), dengan mengerahkan pihak dari MUI, Kementerian Agama, dan Kementerian kesehatan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Linda Maura Sitanggang menjelaskan, saat ini Kementerian Kesehatan sedang mendorong produsen obat-obatan untuk menerapkan standar Good Manufacturing Practice (GMP) yang sejalan dengan standardisasi produk halal.
Linda juga menegaskan bahwa obat-obatan merupakan produk yang ketat regulasi dan harus memenuhi standar tinggi seperti kriteria keamanan, mutu, dan manfaat. "Untuk kehalalan obat dan alat kesehatan, Kemenkes sudah mengajukannya dan akan diatur dengan perpres tersendiri," kata Linda saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/4).
Linda mengatakan, kendala terbesar dalam penyediaan obat halal adalah sedikitnya ketersediaan obat halal itu sendiri sehingga masih banyak masyarakat mengonsumsi obat-obatan yang belum diketahui kehalalannya. "Kendala terberat jika obat yang dibutuhkan pasien dan masyarakat tidak tersedia. Tapi setiap obat sudah dapat dipastikan aman, bermutu, dan bermanfaat karena itu kriteria dan standar universal," jelas dia.
Masyarakat, kata Linda memberi saran, sebaiknya senantiasa teliti dalam memilih obat dengan memastikan izin edar (NIE) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan penandaannya, baik tanggal produksi dan kadaluwarsanya.