REPUBLIKA.CO.ID, TEHRAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani telah menghubungi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kedua kepala negara itu membahas permasalahan terkait Suriah melalui sambungan telepon.
Dalam perbincangan itu, Rouhani mengatakan, semua negara seharusnya mengetahui seberapa sensitif untuk melakukan aktivitas di wilayah lain. Lebih jauh, Rouhani menyebut intervensi negara-negara lain di kawasan merupakan sebuah hal yang ilegal.
"Saat bukti belum ditemukan dan penyidik senjata kimia belum mengumumkan hasil investigasi mereka, tidak ada negera yang boleh mengambil tindakan militer," kata Rouhani, Rabu (18/4).
Pernyataan Rouhani diungkapkan beberapa hari setelah intervensi militer Amerika Serikat (AS) yang didukung Prancis dan Inggris terhadap Suriah. Negara sekutu tersebut meluncurkan serangan rudal ke Suriah sebagai respons dugaan penggunaan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur.
Guna membuktikan penggunaan gas beracun tersebut, tim peyidik internasional dari Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) akan segera melakukan investigasi di Douma. Tim saat ini sudah berada di lokasi menyusul izin yang dikeluarkan pemerintah Rusia.
Direktur Jenderal OPCW Ahmet Uzumcu mengatakan, pihak berwenang Suriah telah menawarkan kesempatan kepada tim tersebut untuk mewawancarai 22 orang yang mereka katakan berada di lokasi serangan. Orang-orang itu disebut bisa dibawa ke Damaskus.
Tim rencananya akan mengumpulkan tanah dan sampel lain untuk membantu mengidentifikasi bahan kimia yang mungkin telah digunakan. Meski demikian, Prancis menyebut bukti-bukti penggunaan gas itu kemungkinan telah dimusnahkan sebelum tim masuk ke kawasan.
Tim penyidik OPCW akan memasuki Douma pada Rabu (18/4) atau selang 11 hari setelah serangan. Duta Besar AS untuk OPCW Kenneth Ward mengatakan ada kekhawatiran pasukan Rusia telah merusak lokasi serangan senjata kimia itu setelah para pemberontak terakhir dievakuasi pekan lalu.
"Ini adalah pemahaman kami, Rusia mungkin telah mengunjungi lokasi penyerangan," kata Ward.