REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina meminta dunia internasional memberikan tekanan lebih kepada Myanmar terkait isu Rohingya. Bangladesh mengkhawatirkan keselamatan para pengungsi dalam proses repatriasi.
"Komunitas internasional harus memberikan tekanan yang lebih kepada Myanmar sehingga mereka mau menerima kembali warganya dan menjamin keselamatan mereka," kata Hasina dalam sebuah pertemuan di London, Rabu (18/4) waktu setempat.
Merujuk data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hampir 700 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka terpaksa kabur menyusul tindak kekerasan, pembunuhan, hingga pemerkosaan yang dilakukan militer Myanmar. PBB menyebut perbuatan itu sebagai pembersihan etnis.
Myanmar lantas bersedia untuk kembali menerima kepulangan minoritas Muslim itu ke kampung halaman mereka. Hasina mengatakan, pemerintah Bangladesh telah menyodorkan daftar 8.000 nama warga Rohingya dalam proses repatriasi tersebut.
Namun, Hasina mengatakan, pemerintah Myanmar hingga saat ini belum mengambil langkah jelas terkait proses repatriasi. Ribuan daftar nama keluarga itu hingga kini masih belum bisa pulang ke kampung halaman mereka.
Bangladesh sebelumnya menolak klaim Myanmar yang menyebut telah memulangkan satu keluarga pengungsi Rohingya. Penolakan itu disampaikan pada Senin (16/4) lalu. Myanmar mengaku telah menerima kembali lima orang dalam satu keluarga Rohingya akhir pekan lalu.
Myanmar mengatakan, satu keluarga itu dipulangkan dari wilayah perbatasan dan kembali ditempatkan di Rakhine. Mereka mengatakan, keluarga tersebut tinggal di rumah saudaranya di kota Maungdaw dekat perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Menteri Dalam Negeri Bangladesh Asaduzzaman Khan Bangladesh Asaduzzaman Khan mengatakan, klaim repatriasi Myanmar adalah sebuah kebohongan. Ini lantaran keluarga tersebut tidak pernah menginjakkan kaki ke wilayah Bangladesh sehingga tidak bisa disebut repatriasi.
Sebelumnya, PBB juga mempertanyakan klaim Myanmar atas pulangnya pengungsi Rohingya ke negara tersebut. Kepulangan itu dipertanyakan mengingat situasi keamanan di Myanmar masih belum kondusif.
Di bawah perjanjian antara Yangon dan Dhaka, para pengungsi Rohingya seharusnya mulai dipulangkan pada Januari. Namun, PBB dan sejumlah lembaga hak asasi manusia menyatakan pemulangan itu masih terlalu prematur dan berbahaya.