REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, menyatakan bahwa terjadi error in persona terkait kasus yang menjerat kliennya itu dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi, tuntutan terhadap Syafruddin ini error in persona. Jadi, salah orang sebenarnya karena ini sangat penting diketahui oleh masyarakat, ya, yang seharusnya dibawa ke pemeriksaan, tahanan dan ke penuntutan bukan beliau, bukan Pak Syafruddin Temenggung ini," kata Yusril di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4).
Namun, Yusril tidak mau membeberkan siapa yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Yusril, kliennya hanya menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan mantan kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
"Persoalan Pak Sjamsul Nursalim dengan kasusnya sekarang ini diperiksa sebenarnya dua hal yang sama sekali berbeda. Jadi, kalau Pak Sjamsul Nursalim itu sebagai stakeholder dari BDNI itu sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi utang-utangnya," ujarnya.
Persoalan kedua, Yusril menyatakan, KPK telah keliru menafsirkan bahwa utang petambak plasma PT Disapena Citra Darmaja dijamin oleh mantan pemegang saham Bank BDNI, dalam hal ini Sjamsul Nursalim.
"Jadi, sebagai petani plasma yang dijamin oleh PT Dipasena dan yang mana itu ada satu perjanjian penjaminan antara PT Dipasena dengan para petani tambak dan BDNI. Jadi, kalau misalnya petani tidak dapat membayar utang-utangnya kepada BDNI maka yang membayar adalah PT Dipasena sebagai penjamin, bukan Sjamsul Nursalim sebagai stakeholder dari BDNI," katanya menjelaskan.
Untuk diketahui, KPK pada Rabu resmi melimpahkan proses penyidikan ke tahap penuntutan terhadap Syafruddin. "Jadi, mungkin KPK salah memahami persoalan ini. Itu yang akan kami kemukakan di persidangan dengan menunjukkan fakta-faka, bukti-bukti, dan juga akan memanggil para ahli sehingga kasus ini terungkap dengan jelas, dengan benar, dan tidak terjadi kesalahpahaman sehingga Pak Syafruddin ini dituntut ke pengadilan," kata Yusril.
KPK telah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut, nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Hasil audit investigatif BPK itu menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan, walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan, Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
(Baca: KPK Segera Limpahkan Syafruddin Temenggung ke Penuntutan)