Kamis 19 Apr 2018 21:12 WIB

Kementerian PPPA Menolak Perkawinan Anak

Kementerian PPA mendorong revisi undang-undang tentang perkawinan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nur Aini
Pernikahan.   (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pernikahan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu menegaskan lembaganya menolak perkawinan usia anak. Hal itu menanggapi kasus perkawinan anak yang terjadi di Bantaeng, Sulawesi Selatan.

"Kementerian PPPA tidak mentolerir perkawinan yang dilakukan usia anak karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/4).

Kementerian PPPA terus mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia perkawinan harus dinaikkan untuk mencegah perkawinan anak. Saat ini, usulan tersebut sedang dikoordinasikan bersama Kementerian Agama (Kemenag).

Ia menjelaskan, pada kasus F (14 tahun) dan S (16 tahun) yang telah mengajukan permohonan perkawinan secara negara, Dinas PPPA di daerah perlu melakukan upaya pendampingan dan pemantauan terhadap kedua anak. Mereka juga dinilai perlu memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan perkawinan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. "Pemantauan harus terus dilakukan mengingat perkawinan secara agama sudah dilakukan, dikarenakan secara psikologis anak belum matang untuk membangun keluarga," katanya.

Plt. Bupati Kabupaten Bantaeng, Muhammad Yasin menyampaikan, saat ini pendampingan terhadap kedua anak dan keluarganya telah dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDPPPA) Kabupaten Bantaeng melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), sejak pertama kali kasus mencuat.

Pemerintah Kabupaten Bantaeng juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas kesehatan untuk memastikan anak tersebut terpenuhi haknya. Dinas Pendidikan dan Pemerintah Desa pun telah sepakat untuk memfasilitasi dalam hal pendidikan. Terlebih karena anak perempuan itu sadar betul jika kondisi reproduksinya belum siap, sehingga memilih untuk menunda kehamilan dan melanjutkan pendidikannya. "Saya sebagai pemimpin daerah merasa resah dengan kejadian ini," ujarnya.

Ketika pertama kali mendengar ada kasus perkawinan usia anak di daerahnya pada 16 April 2018, seketika itu pula ia menghubungi dan memanggil seluruh pejabat dan instansi terkait seperti Pengadilan Agama dan Kepala Kantor Urusan Agama, untuk berkonsolidasi terkait langkah yang perlu segera dilakukan. KUA dan Camat yang bertanggung jawab pun sadar, jika perkawinan anak tetap dilakukan, akan melanggar Undang-Undang, sehingga mereka menolak. "Solusinya, melalui PUSPAGA di Kabupaten Bantaeng akan dilakukan pendampingan dan penanganan terhadap anak dan keluarganya, katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement