REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, selama ini masih banyak perempuan pekerja yang masih abai akan kesehatan dirinya. Selain itu, perempuan pekerja juga masih banyak yang belum berani memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan, misalnya terkait cuti haid dan melahirkan.
Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kemenkes Kartini Rustandi menegaskan, cuti haid adalah hak perempuan pekerja. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan, pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dana memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid.
"Kan ada perempuan yang saat haid itu kesakitan, sampai guling-guling, atau moodnya selalu tidak enak, dan lain-lain. Haid itu kan kodrat, makanya cuti haid itu hak perempuan," kata Kartini dalam diskusi memperingati Hari Kartini di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (20/4).
Menurut dia, ada beberapa faktor perempuan pekerja tidak menggunakan hak cuti haid. Pertama, karena takut penghasilan berkurang, lalu mereka tidak memiliki keberanian untuk mengajukan cuti kepada perusahaan, dan terakhir karena ketidaktahuan perempuan pekerja mengenai hak-haknya.
Selain itu, dia juga mengkritisi kebiasaan perempuan pekerja yang mengajukan cuti hamil setelah melahirkan saja. Padahal jika merujuk pada ilmu kesehatan, pengajuan cuti yang benar yaitu 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
"Di kita kan malah jatah tiga bulan itu digunakan semua setelah melahirkan. Ini yang mesti luruskan," kata Kartini.
Di sisi lain, dia pun mendorong agar perusahaan-perusahaan bisa ramah kepada perempuan. Tentunya dengan selalu menyediakan fasilitas-fasilitas yang ramah kepada perempuan.
"Kami di Kemenkes terus membina dan mendukung perusahaan untuk bisa ramah kepada perempuan. Adapun untuk pengawasan dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan," jelas Kartini.