REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sekitar 35,2 persen perusahaan di Indonesia belum menyediakan ruang laktasi bagi ibu menyusui. Padahal, ruang laktasi adalah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kemenkes, Kartini Rustandi, mengatakan baru 64,8 persen gedung perkantoran di Indonesia yang menyediakan ruang laktasi guna mendukung program ASI eksklusif. Angka tersebut merupakan kumpulan data di 19 Provinsi dan 78 Kabupaten atau Kota, yang sudah melaksanakan program Gerakan Perempuan Pekerja Sehat dan Pruduktif (GP2SP) maupun yang tidak.
"Jadi jangan lah kita bicara soal stunting bagaimana, ya kalau masalah seperti ini saja (penyediaan ruang lakstasi) belum semua menyediakan," kata Kartini di Gedung Kemenkes Jakarta Selatan, Jumat (20/4).
Kartini mengatakan, perlu ada komitmen dari pimpinan perusahaan untuk mewujudkan ketersediaan ruang laktasi di semua perusahaan. Selain itu, serikat pekerja juga dinilai perlu mendorong ketersediaan ruang laktasi di setiap perusahaan.
Baca juga: Menyusui Bayi Bikin Jantung Ibu Makin Sehat
"Selain ruang laktasi, pemenuhan gizi juga saya rasa perlu diberikan. Jika tidak mampu, perusahaan bisa bekerja sama dengan Puskesmas setempat," kata Kartini.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Prof Vennetia meminta agar Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tegas menegur dan memberikan sanksi terhadap perusahaan yang belum menyediakan ruangan laktasi. Terlebih, terhadap perusahaan besar yang semestinya sanggup menyediakan ruangan laktasi.
"Ruangan laktasi seluas apa sih? Tidak terlalu luas saya rasa. Jadi perusahaan besar pasti bisa (sediakan ruang laktasi)," tegas Vennetia .
Perusahaan yang tidak menyediakan laktasi bisa diberi sanksi seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 dalam pasal 200 dan 201. Yaitu ancaman pidana kurungan paling berat selama satu tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. Adapun untuk perusahaan, denda menjadi maksimal tiga kali lipat atau Rp 300 juta dan ancaman pencabutan badan izin usaha.