REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih membahas definisi terorisme, karena masih ada perbedaan pendapat antara fraksi-fraksi dengan pemerintah dalam pembahasannya. Pansus mendapatkan masukan terkait definisi terorisme dari Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri serta akademisi.
"Tinggal satu isu yang dibahas yaitu tentang definisi terorisme, memang ada kesepakatan perlunya ada definisi terorisme namun tidak mudah mendefinisikannya," kata anggota Pansus Terorisme Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/4).
Arsul mengatakan Pansus telah mendapatkan masukan terkait definisi terorisme dari Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Panglima TNI, Kapolri, dan kalangan akademisi. Ia menjelaskan, dari kalangan Polri sebagai penegak hukum menginginkan ada definisi tidak membatasi gerak mereka dalam penegakan hukum terutama mengenai terorisme di masa mendatang.
"Itu yang kemudian menjadi panjang pembahasannya. Rapat terakhir belum sepakat bulat, masih ada beberapa opsi," ujarnya.
Menurutnya, dalam pembahasannya diusulkan bahwa definisi terorisme merupakan sebuah tindakan karena motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Arsul menjelaskan mayoritas fraksi di Pansus Terorisme menginginkan definisi tersebut misalnya kalau ada orang yang menembaki istana karena marah dengan pemerintah, itu tidak dikategorikan terorisme.
"Tapi kalau tembakannya membuat penjaga di istana terbunuh atau terluka tetap dikenakan Pasal 338 tentang pembunuhan atau pembunuhan berencana tetapi tidak boleh dikenakan terorisme karena itu tidak ada urusannya dengan urusan jaringan teroris, dan tidak ada motif ideologi atau politik," katanya.
Hal itu menurutnya sama ketika ada seorang tiba-tiba membakar gerai produk internasional karena marah namun tidak dikategorikan terlibat kelompok jaringan terorisme. Selain itu dia menjelaskan terkait tindakan "lone wolf" tidak perlu dikenakan pasal terorisme namun pasal yang lain terkait tindakan pidana.
"Kalau tadi misalnya membakar gerai lalu ada orang yang tewas ya dikenakan pasal pembunuhan yang hukumannya mati, pembunuhan berencana. Tetapi tidak kemudian sedikit-sedikit dikenakan pasal terorisme," ujarnya.
Arsul mengatakan pendapat Densus 88 Antiteror menjelaskan bahwa semua kasus terorisme pasti ada jaringannya sehingga fraksi-fraksi termasuk Fraksi PPP memasukan unsur jaringan, motif politik, dan ideologi dalam definisi terorisme.