Senin 23 Apr 2018 17:04 WIB

Abdul Hadi: Antipolitisasi Masjid Itu Ala Snouck Hurgronje

Sampai hari ini tidak ada aturan hukum yang membatasi peran masjid.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Illustrasi Islamophobia.
Foto: Republika/Mardiah
Illustrasi Islamophobia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar sufisme dan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengatakan seruan sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai "antipolitisasi masjid" boleh jadi diartikan oleh sekelompok orang Islam sebagai seruan "larangan berpolitik bagi orang Islam. Ini karena masjid memang bukan sekadar rumah ibadah bagi orang Islam, tetapi juga tempat bermusyawarah dan bermufakat membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi umat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

"Di dalam masjid juga termasuk membicarakan masalah ekonomi dan politik. Pemerintah jajahan Belanda tempo dulu juga sudah melarang politisasi masjid. Dengan mengikuti arah Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda yang hanya mengizinkan eksistensi masjid dan kaum Muslim itu hanya untuk soal ritual dan ibadah, atau ada dikotomi antara Islam ritual dan Islam ibadah,'' kata Abdul Hadi kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (23/4).

Namun, lanjut Abdul Hadi, dikotomi Snouck Hurgronje setelah kemerdekaan sempat ditinggalkan. Pada tahun 1960-an misalnya, ketika Presiden Sukarno memerlukan dukungan umat Islam dalam konfrontasi melawan Malaysia, dia menghilangkan dikotomi itu. Oleh Bung Karno dinyatakan ulama (dan juga Umat Islam di masjid) didorong mengeluarkan fatwa "wajib" berkonfrontasi dengan Malaysia.

"Jadi kepada mereka yang bergabung dengan gerakan antipolitisasi masjid hendaklah ingat, bahwa orang Islam Indonesia adalah penduduk terbanyak di negeri ini dan janggan suka melarang-larang mereka menjalani kehidupan mereka mengikuti ajaran agama mereka yang mereka anggap mulia. Sebab, semakin masjid ditakuti sebagai tempat yang baik membicarakan politik, maka makin banyak orang pergi ke masjid,'' ujarnya.

Bukan hanya itu, lanjut Abdul Hadi, sampai hari ini tidak ada aturan hukum dan perundangan yang melarang umat Islam bicara politik, ekonomi, busana, hukum, kebudayaan dan lainnya di masjid, di rumah atau di tempat umum lainnya. Juga hal yang sama berlaku bagi tempat ibadah umat beragama lainnya.

"Misalnya apa di gereja juga dilarang? Saya pernah bertanya. Tetapi soal ini tak ada jawaban. Sahabat saya pernah tanya sama cendikiawan Kristen, Victor Tanja. Jawabnya tidak. Tapi beliau sudah almarhum,'' kata Abdul hadi.

Harus diakui pula, lanjut Abdul Hadi, tidak ada pemisahan dan pelarangan di masjid untuk bicara berbagai hal, termasuk sosial, ekonomi, hingga politik, kemudian telah terjadi pada tahun 1970-an. Pada pemilu 1977 makanya di Daerah Istimewa Aceh, DKI Jakarta, dan Pulau Madura, PPP menang telak. Namun, sekarang mudah dibuat mlempem,'' ungkapnya.

Khusus mengenai kebijakan dan pandangan dikotomi ala Snouck Hurgronje juga terbukti telah berpengaruh juga pada kaum 'priyayi abangan' di Indonesia. Pemikiran ini merasuk ke dalam pemikiran tokoh seperti Cipto Mangunkusumo. Dan pemikiran dikotomi ala Snouck itu berlawanan dengan pemikiran HOS Cokroaminoto, guru Bung Karno.

"Jadi kesampingkan dulu soal pribadi dalam memandang soal ini. Rumah saya juga dekat masjid. Banyak khutbah tak berkenan pada pribadi saya, tetapi berkenan bagi banyak orang lain. Ya saya biarkan saja. Undang-undang tidak melarang kok,'' ungkapnya.

photo
Prof DR Abdul Hadi WM (kiri).

Selain itu, kata Abdul Hadi, phobia terhadap Islam ini juga tidak terkait soal kuantitas di situ. Soal sedikit banyaknya manusia bukan sekadar kuantitas, tetapi juga bukan sekadar kualitas. ''Kalau itu cara berpikir dan pandangannya, lagi-lagi kita terjebak pada hal yang serba relatif. Padahal obyektifnya jelas : Saya menentang slogan antipolitisasi masjid yang dikumandangkan kelompok yang tak berkenan dengan politik orang Islam. Apa salah?"

"Sekali lagi bukan soal itu yang ingin saya kemukakan. Yang ingin saya serukan: Janganlah sampai ada orang non-Muslim melarang-larang orang Islam bicara politik di masjid,'' tandas Abdul Hadi.

photo
Penasihat pemerintah Kolonial Belanda Snouk Hurgronje. Saat tinggal di Jeddah dan akan masuk ke Makkah pada tahun 1880-an dia mengganti nama ala orang Muslim Turki, Abdul Ghaffar. (Foto:gahetna.nl)

Sebelumnya Ketua Umum KB PII Nasrullah Narada berkata senada dengan Abdul Hadi. Dia mengatakan adanya gerakan dan seruan antipolitisasi masjid itu kontraproduktif dan menimbulkan keresahan umat Islam. Sebab, itu malah hanya menyempitkan fungsi masjid yang jelas tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga memang berfungsi sebagai tempat menyelesaikan berbagai persoalan umat dari soal ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik.

‘’Ada gerakan antipolitisasi masjid malah membuat resah bahkan telah membuat marah sebagian umat Islam. Gerakan ini dilakukan oleh orang yang tak paham akan fungsi masjid dan ingin menyempitkan fungsi masjid itu sendiri. Ingat fungsi masjid adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah umat Islam,’’ kata Nasrullah Narada, di Jakarta (23/4).

Nasrullah mengatakan pihak umat Islam pun bisa bertanya bagaimana dengan pihak yang berada di luar Islam ketika memberlakukan tempat ibadahnya. Sebab, umat Islam pun tahu apa yang pihak lain lakukan. Dan ini sebenarnya malah benar-benar gerakan politik.

‘’Jadi malah meneguhkan kenyataan bahwa gerakan antipolitisasi masjid itu justru gerakan politik. Jadi gerakan ini malah lucu dan ajaib sebab maksud dan tujannya malah saling berlawanan. Saya kira gerakan seruan antipolitisasi yang kini muncul itu malah konyol,’’ ujarnya.

Bagi posisi Jokowi sendiri, lanjut Nasrullah, kini malah sampai kepada kenyataan bila gerakan ini malah sama sekali tidak menguntungkan. Gerakan ini hanya mempersempit ‘pasar pemilih’ atau pendukung Jokowi karena justru menimbulkan antipati kepada pihak yang selama ini belum mendukung dia.

‘’Adanya kelompok ini umat Islam modernis yang selama ini cenderung tidak mendukung Jokowi dalam pilpres atau malah melakukan oposisi, justru semakin solid sikapnya yakni tak mau ikut dalam kelompok Jokowi. Padahal kebutuhan Jokowi ini adalah merangkul pihak Islam modernis yang selama ini berada di luar dengan gencar melakukan oposisi. Saya lihat gerakan atau seruan ini malah sebagai blunder politik Jokowi,’’ tegasnya.

Bukan hanya itu, kata Nasrullah, fakta pun sudah mengatakan gerakan semacam antipolitisasi masjid ini sudah gagal total dalam pemilu pilkada DKI yang lalu. Gerakan ini terbukti tak laku dengan adanya kekalahan Ahok. ’’Saran saya kepada kelompok Jokowi jangan diterus-teruskan karena malah konyol jadinya.”

Sebelumnya di berbagai media massa online muncul berita adanya gerakan antipolitisasi masjid pada sebuah acara publik di kawasan Sarinah, Jakarta, Ahad (22/4). Mereka menyebut dirinya sebagai 'Gerakan Nasional Jutaan Relawan Dukung Joko Widodo'. Mereka mengklaim program antipolitisasi masjid itu akan dilakukan melalui ceramah dan pengajian yang digelar relawan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement